Rabu, 24 Juni 2020

karena sepi adalah teman terbaik



self healing
self improvment


"main yuk"

ada banyak yang melintas di pikiran jika seseorang mangatakan itu. apakah aku punya waktu? apakah aku punya uang? bagaimana ongkosnya? dan yang terakhir adalah apakah aku bisa bermain bersama mereka?

introvert bagiku adalah belenggu yang sangat aku sukai, ia terasa sangat nyaman sekaligus membahagiakan, kadang bisa bertingkah menyedihkan dan bertingkah sebagai pelipur dalam satu waktu. aku mengenalnya saat pertama kali tes kepribadian kelas delapan SMP, sekitar tahun 2013. sudah lama sekali ternyata. tapi setelah tujuh tahun bersamanya aku tetap menikmati itu tanpa kurang sedikit apapun.

ada yang beriringan hadir bersama introvert, dia adalah sepi. ternyata bukan introvert yang ada sisiku selama ini, tapi sepi. sepi adalah teman terbaikku dia selalu menyediakan waktu, ikut berjalan saat aku bahagia dan menjadi teman terbaik saat sendiri. tapi apakah menurut kalian itu menyeramkan?

misalnya seperti ini. saat main atau berbincang disuatu ruangan bersama teman kalian merasa tiba-tiba di sekitar kalian  kosong, mereka, teman-teman, ada disana tapi dalam ruangan hampa. hampa yang dirasakan secara bersamaan oleh hati dan pikiran. mereka yang tertawa terasa sangat useless dan kalian menanggapinya dengan muka masam. syukur baiknya jika yang ditampilkan muka datar yang membuat orang-orang disekitar tidak terlalu curiga.

"put, main yuk?"
"enggak ah, mau nonton aja, hehe"

"besok lo mau ikut acara itu ga?"
"gue lagi ga enak badan, mau lasngsung pulang aja abis kuliah"

"eh ada bazaar tuh di plazaa"
"rame banget tau"

"gamau ikutan main ini, put?"
"gabisa mainnya, hahaha"

"putri, mana? ko ga pernah muncul?"
"iya maaf ya, gue lagi banyak kerjaan"

"ikut kepanitiaan itu yuk?"
"itu acara gede, gue takut gabisa"

"ayoo lah ikut studi tour, biar kita lengkap"
"duuh, gue udah ada agenda nih"

lama-lama berbohong adalah keahlianku, berakting jadi bakatku. inti dari semua itu adalah menghindar. padahal banyak sekali yang ingin menarikku keluar dari trio yang sangat di benci orang (introvert, sepi, dan aku). hanya saja trio itu sama-sama saling kuat tidak ada yang mau mengalah, apalagi jika seseroang pemimpin di antara ketiganya hadir, ego.

tapi bukankah kalau terlalu sering menampakkan itu akan sangat jelas dan mudah terbaca?
"putri kenapa? ko ga mau ikut main?"

"itu ko si putri sendirian aja?"

"dia lagi ada masalah ya?"

"lo sakit put, pucet banget?"

sampai akhirnya, mereka yang selalu berusaha membantu menarikku keluar, lelah.
"gatau, dia emang kayak gitu"
"udahlah biarin aja, gua juga capek nanyain mulu"

sampai suatu saat aku sadar kalau ada yang salah, tapi sampai saat ini aku tidak mau mengakui. iyabenar, aku menyadari apa yang aku lakukan adalah salah, terlihat sombong, terlalu sering futur, banyak alasan, jika ada diantara orang-orang berlagak sok sibuk, tapi kalau sendiri sangat dinikmati dengan tertawa.

karena aku ga ngerti ilmu-ilmu psikolog, aku pernah mencari tentang hal-hal itu di internet. mencari apapun yang aku rasakan saat rasanya diriku benar benar sudah kacau. dan menemukan aku yang sama  didalam internet. aku mamaku diriku sama seperti mereka yang memiliki gangguan mental illness, orang-orang yang berteman dengan sepi. tentu saja self diagnosis ini bukan hal yang baik. kamu, jika memiliki ciri-ciri yang sama dengan aku, lebih baik bercerita ke orang terdekat atau jika memiliki biaya lebih bisa ke psikolog profesional, ceritakan semuanya, kamu akan mendapat pengobatan yang lebih baik.

tapi apakah aku berubah? tentu tidak. aku semakin menikmatinya, semakin dimanja oleh trio itu. karena disana orang-orang sepertiku akan merasakan hal yang sama, sepi adalah teman terbaik yang juga hidup bersama introvert.

heol. berlebihan ya?
Sama. Keget. Ada yaa yang kayak gini.

sepi adalah teman terbaik ketika kita membutuhkannya. tidak menutup kemungkinan orang-orang ekstrovert juga sangat mencintai sepi. kadang seperti ini. ada orang yang didepan orang lain dia bersikap introvert tapi didepan orang terdekat dia ekstrovert, atau sebaliknya. mereka seperti memiliki kepribadian ganda.

semua memiliki waktu-waktu terbaik untuk mengibati diri, apakah sepi, atau butuh pergi bersama teman ke tempat yang ramai? masing-masing juga akan terobati pada proses terbaiknya. hargai. karena setiap kita memiliki privasi dan pembatas diri.

oh iya, sepi adalah obat paling baik jika diri sudah terlanjur runtuh, diri perlu waktu beristirahat untuk memulihkan perasaan, kayaknya ini deh yang disebut self healing. kalian team mana? apa kalian suka sepi? aku suka. sampe kadang kebablasan ga balik-balik dan rasanya itu adalah cara terbaik buat ngasih tau kalo diri ini baik-baik aja.

Sabtu, 13 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag V)



Bersikap baik-baik saja karena rasa salah adalah hal lumrah tapi paling menyiksa, kalian pasti tau kan rasanya? Dibawah tekanan untuk menyembunyikan perasaan yang terus berisik supaya tidak terdengar oleh siapapun.
Sejak awal, memang semesta tidak pernah mendukungku, semua yang ku rasakan itu salah, aku, merusak semuanya, semesta sedang menghukumku. Aku yang telah bersikap egois karena telah mengizinkan sebuah mata yang bertemu menjadi kebahagiaan, dihukum dengan perasaan bersalah yang tidak akan bisa dimaafkan oleh siapapun.

Aku tidak mau menjadi bodoh, Lena. Kita masih terlalu kecil untuk siap menerima hancur yang sia-sia. Aku... Aku... Akan mencoba mengumpulkan untaian kesalahan-kesalahanku kepadamau untuk memperbaikinya dan merangkainya menjadi ikatan paling erat antara aku dan kamu juga Reja, kita akan menjadi sahabat paling keren didunia. Karena aku yang sudah salah, maka aku akan berusaha lebih keras untuk mewujudkan itu.

Lena, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan tatapan itu menjadi benih paling menyedihkan yang pernah aku tanam. Akan lebih menyakitkan bagiku jika kamu tidak lagi menjadi sahabatku, kamu yang terbaik, Lena, dan akan selalu seperti itu.

***
Hari itu Lena sudah membaik, Lena lebih banyak tersenyum bahkan tertawa dengan teman-teman, sepertinya Lena sudah melupakan apa yang terjadi dengan orang yang disukainya itu.

"Gue masih suka sih, Put. Tapi yaa, yaaudah gitu gue ga peduli juga. Emang sih bener kata mamah, terlalu berharap sama seseorang itu ga baik hahahah"
"Bagus deh kalo lo udah bisa move on haha, nanti makan bakso yuk sama Reja, mamang bakso yang di sebrang sekolah aja, gue yanh traktir"
"Gue mikir, ko gue bisa sesuka itu ya sama ka Baim? Hmmm... Tapi emang dia manis banget, pinter, baik lagi. Siapa sih yang ga suka sama dia?? Pasti banyak juga ya yang patah hati hahahha"
"Iyee Len, kan elo salah satunya hahahaha"
"Yeeee. Tapi lo gapapa Put?
" Apanya yang gapapa? Lo mau ga makan bakso?
"Ha? Bakso apaan?"
" Ah tau ah Len, gue td ngomong ga lo dengerin "
"Eh iya iya, sama Reja kan? Okee traktir hahah"

***
Tiga minggu kedepan ujian nasional dilaksanakan serentak di Indonesia, kelas sembilan belajar semakin giat, kami kelas delapan dan kelas tujuh lebih sering belajar dirumah, karena sekolah dan waktu banyak digunakan untuk kelas sembilan percobaan ujian nasional. Aku, Lena dan Reja lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Reja sudah jarang main futsal, Lena juga sudah tidak les di tempat les, mungkin karrna dia sudah pintar, posisi juara satu umum paralel  kelas delapan sepertinya memang mutlak milik Lena. 

Hari-hari ku berjalan seperti biasa, pergi les seminggu empat kali, membosankan, walaupun kadang terpaksa, tapi hasilnya terlihat, disemester ganjil kemarin aku juara dua, tentu saja aku tidak akan bisa mengalahkan Lena di kelas. Aku sudah menjelaskan itu dengan ayah, dan ayah memaklumi.

***
Hari ini aku dan Lena berencana bermain kerumah Reja, Ibu sangat senang tentu saja, sampai sampai ibu membuatkan donat untuk Reja, mungkin ibu ingin memiliki anak laki-laki, karena kakak juga perempuan. Ah iya, aku tidak pernah membahas kakak yang sedang berkuliah karena aku tidak ingin mengganggu kakaa dengan semua cerita ku yang sangat kekankan, dia pasti hanya akan mentertawaiku.

"Len, lo tau ga. Masa ka Baim sama Ka Miranda katanya Putus" Reja berbicara sambil memakan donatnya dengan mulut penuh
"Makan dulu kek. Iya sih paling juga putus bentar lagi hahaha" Jawab Lena tidak peduli
"Kenapa emang?"

Perbincangan ini membangkitkan rasa penasaran ku, bukankah aku bodoh bertanya seperti itu? Ya ampun, Putri. Kamu udah janji untuk tidak merasakan apa-apa karena kamu harus memperbaiki semuanya, menjaga persahabatan ini.

"Tumben lo penasaran Put?" Tanya Reja yang kaget dengan pertanyaan ku, dan aku hanya bisa tersenyum
"Alesannya paling klasik Put, (aku mau gokus belajar, jadi kita putus aja ya?) gitu paling hahah" Jelas Lena sambil tertawa
"Hahaha iya bener bener"
"Emang bisa gitu ya?" Tanya lagi, menurut ku pertanyaan ini melewati batas, taoi entah kenapa kelur begitu saja dari mulutku.

"Elo hidup di jaman apa sih Put? Gitu aja gatau sama sekali?" Saut Reja yang sangat sebal dengan ku
"Tau lo Put, percuma masuk osis lo, hahaha. Oh iya dulu kan lo wawancara osis katanya mau punya banyak temen" Lena mengingat pendaftaran osis itu.
"Iya lo Put, hahaha. Tapi maennya tetep sama kita-kita juga hahah"
"Iya juga ya, aku baru sadar"

"Eh eh Ja, kok lo bisa masuk divisi literasi sih? Kaget kan gua pas liat nama lo di bawah na gue hahaha" Lena tertawa sangat kencang sambil memukul pundah Reja
"Eh iya ya. Sumpah Len gue juga gatau hahahha"

Akupun ikut tertawa mengingat masa itu, sore mendung itu, dirumah Reja, kami menghabiskan waktu hanya dengan mengobrol, mengenang masa masa kita bersama.

***
Setelah satu minggu kelas sembilan ujian, kami kembali belajar dengan normal. Saat jam istirahat didalam kelas tiba-tiba Reja menghampiri, dia membawa dua buah cokelat.

" Put nih buat Loh" Reja memberikan satu cokelat untukku
"Tumben banget lo ngasih makanan buat gue?"
"Buat gue mana Ja, masa cuma Putri doang?" Lena protes.
"Kagak ada lagi, itu kalo mau bagi dua aja"
"Pelit banget lo Ja, itu kan lo punya satu lagi?" Raut wajah lena terlihat bete.
"Inimah punya gue lah"
"Ini len bagi dua aja. Suka ga jelas emang Reja"
 
***
Hari perpisahan dengan kelas sembil tiba, aku yang masih menjadi pengurus osis mengurusi segala persiapan yang di butuhkan, dari hiasan panggung, banner, tenda, kursi kursi untuk orang tua yang datang, snack, sound system, semuanya. Lebih tepatnya aku hanya manyuruh, karena banya anggota osis lain hehehe.

Pagi itu berjalan sibuk sekali, bahkan aku tidak sempat mengobrol, bahkan denhan lena aku hanya menyuruhnya membantu, jangan tanta Reja, dia tiba-tiba jadi babu waktu itu haha.

Semua tamu undangan hampir tiba, beberapa sudah ada yang menyantap snacknya, pertunjukan yang disiapkan sudah mulai tampil, menjelang siang hari pukul 11.15 WIB rundown yang aku tulis menunjukkan pembacaan juara umum untuk kelas sembilan oleh keoala sekolah, dan dia berada di peringkat 6, dia berada di atas panggung.

Aku yang sejak pagi sibuk, entah mengapa tersentak saat nama dia di panggil, Ibrahim Zakariya. Aku semakin bodoh dengan berbalik badan dan melihatnya berdiri diatas panggung, bodoh sekali. Waktu itu dadaku terasa sangat sakit, sakit karena aku merasa mengingkari janjiku pada Lena juga Reja, sakit karena aku bersikap bodoh karena tida mampu menahan untuk tidak melihat dia, sakit karena masih ada sesuatu yang tersisa.

Lena, aku harus bagaimana? Reja tolong aku menghentikan pikiran dan perasaan aneh ini yang sebenarnya tidak bisa aku hilang seluruhnya. Aku mengkhianati sahabatku.

Aku bertekad, hari ini, di saat ini, aku tidak akan memikirkan dia. Aku akan menghapus ingatan-ingatan dari pertemuan dua mata yang menghancurkan semuanya itu. Aku akan menjadi sahabat yang baik untuk dua sahabatku, aku tidak akan menyakiti mereka hanya karena hatiku yang sanagt egois ini. Maka akan aku pastikan salam kenal waktu dipartama kali aku mengucapkan "hai" itu tidak akan membuat salam salam lainnya, dan hari ini akan menjadi perjumpaan terakhir yang tidak akan aku sesali sama sekali, aku memilih sahabatku.
Akan aku sampaikan untuk pertama dan terakhir kalinya sesuatu yang ingin kuucapkan dari hatiku untukmu, semoga kamu mendengar dengan senyum.
Salam kenal, sampai jumpa.

Kamis, 11 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag IV)


Rasa takut yang besar ini menghampiri disetiap aku masuk gerbang sekolah, ini hari terakhir disemester ganjil. Semesta berbaik hati kepadaku, ada waktu dua minggu sampai ajaran baru dimulai di awal tahun nanti. Artinya dalam dua minggu aku tidak akan bertemu dengan dia, aku harus memperbaiki sikapku, prilaku dan perasaan yang aneh ini jika tidak ditata akan semakin menjadi-jadi. Lena, dia sahabat, tidak mungkinkan aku menjadi jahat hanya karena aku, yang sampai saat ini saja aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku, kecuali jika Lena banyak bercerita, tentang dia.

Dua minggu berlalu begitu cepat tanpa basa-basi, ajaibnya kepalaku sama sekali tidak dilintasi oleh dia, aku baik-baik saja dan akan selalu begitu. Semester genap ini sama seperti biasanya, aku tidak menyiapkan rencana apapun, paling ayah akan lebih sering menghubungi ku untuk pergi les, seperti alarm, tidak pernah terlewat dan ibu akan geleng-geleng kepala di meja makan memperhatikan anaknya yang selalu cemberut kalau ayah sudah berbicara tentang les.

"Put, Lena ga main kerumah lagi? Perasaan selama liburan ini kamu ga pergi main?" Ibu bertanya karena baru menyadari itu, aku lebih memilih di kamar selama dua minggu, iya betul, untuk menghindari dari mendengar kabar dari dia, walaupun sebenarnya aku juga tidak tau apa yang ku lakukan, karena aku terlalu takut.
"Gatau tuh, Lena katanya lagi sibuk belajar masak sama mamanya"
"Rajin banget Lena, kamu ga mau ikutan belajar masak juga? Nanti Ibu bantuin loh"
"Gamau ah, Ibu. Aku motong bawang aja salah terus sama Ibu"
"Hahahahaaa, perempuan ini" Ayah dan ibu tertawa mendengarkan jawabanku.

Pagi itu singkat sekali, aku sudah berada di dalam kelas. Hari pertama masuk, beberapa teman-teman masih ada yang berlibur, sekolah belum seramai hari biasanya, pun kantin, baru dua gerai yang buka, termasuk dia, aku tidak melihat dia hari itu. Aku rasa, semesta masih berbaik hati kepadaku untuk melanjutkan memperbaiki diriku, terhadap hati yang begitu naif dan tidak mau terima segala proses-proses tentang jatuh hati.

***
Satu minggu berlalu dengan baik-baik saja,  dan di awal minggu kedua ini, sepertinya semua akan berjalan dengan indah tanoa ada satu kekecewaan apapun.

"Lena, lo udah bisa masak ayam?" Tanyaku saat melihat Lena masuk kelas, aku bertanya bahkan saat lena belum sempat meletakkan tasnya.
"Belum, susah ternyata masak. Eh sebenarnya susah ngumpulin niatnya. Hahaha"
"Yeee haha, Ibu nyuruh kamu main, ibu masakin dendeng ayam buat kamu"
"Ha dendeng ayam? Baru denger! Ayam fillet kali?!"
"Ga ngerti gue"
"Oke ntar pulang sekolah gue bareng ya kerumah lo!"

tetapi, menjelang jam istirahat, pikiran ku langsung kosong setelah mendengar apa yang Lena katakan
"Eh Put, ternyata bener!"
"Apanya yang bener?"
"Itu ka Biam, pacaran sama ka Miranda"

Aku yang selama tiga minggu ini tidak mendengarnya sama sekali, dan sangat berusaha menghindarinya. Tiba-tiba kabar yang membuat hatiku teriris itu hadir dari sahabatku. Yang aku takutkan selama ini, sesuatu yang selama ini selalu berperang didalam kepalaku, tubuhku yang selalu menolak sekaligus menerima, tentang beberapa detik tatapan disaat mata kita saling bertemu kala itu, terjawab.

"Gue tadi, liat mereka jalan kekantin bareng. Sumpah ya, gue kaget banget. Gue kira kabar burung, anak-anak di facebook ngomongin"
"Biarin aja Len, itukan pilihan mereka, lo gausah sedih sedih gitu deh, toh lo kan bukan siapa-siapa nya ka Baim. Hahaha"
"Ya iya sih, tapi ga gitu juga. Ah males gue ngomong sama lo, bete. Bukannya belain temennya. Sedih nih gue"
"Hahaha iya iya maaf, sini sini peluk. Utuk utuk"

*****
Beberapa hari ini, aku semakin hancur. Bukan karena melihat dia yang sudah berdua. Hatiku hancur saat benar-benar menyadari apa yang sudah terjadi, terkhusus pada hatiku. Ambruk, runtuh, berkeping, menjadi serbuk yang mudah berhamburan ditiup nafas kesedihan.
Aku, menyakiti Lena.

Disepanjang perjalanan pulang sekolah, dikepalaku terus berputar satu kalimat tanya 
"apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"
"Apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"

Aku mengerti perasaan yang salah ini setelah melihat Lena menangis karena dia. Hatiku ikut menangis. Bukankah aku juga sudah bersikap jahat kepada Lena? dengan membiarkan kebingungan yang sudah terjawab menjadi keputusan. Keputusan untuk memahami dan bersikap egois bahkan protektif dengan semua alur yang mengalir dalam hatiku. Aku jahat.

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag III)



Aku masih terhanyut dengan pertandingan itu, semakin dalam, memperhatikan. sorak sorai disana tidak terdengar sama sekali, semua terlihat gelap, buram, kecuali dia.

Selama di osis, aku pikir aku tidak pernah berbicara dengan dia, jika ada yang didiskusikan, ka Aisah, sekretaris satu yang lebih sering berbincang dengan dia. Aku? Hanya mngurusi surat surat sederhana, pun tidak ada hal yang perlu di bicarakan dengan dia. Aku hanya terlalu naif untuk memahami diriku sendiri. Termasuk kemarin.

"Besok kamu minta tanda tangan Baim, bilang ini nama calon ketua osisnya perlu persetujuan" Ka Aisah menjelaskan dengan baik, aku kemudian mengangguk mengiyakan.

Tapi, seharian itu aku tidak bertemu dengan dia. Sampai bel pulang sekolah, saat itu aku berada tepat di bawah anak tangga, menunggu Lena. Tapi aku benar-benar tidak menyangka. Dia, lewat di depan ku. Aku kaget dan kebingungan harus apa, keringat dingin tiba-tiba keluar di dahiku, badanku tak bisa bergerak, bibir ku kaku, mataku berusaha membuang arah dari dia. Dia tidak melirik ku sama sekali, terus berjalan melewatiku. Akhirnya tubuhku disadarkan Lena, yang datang.

"Put, Put, Putri!"
"Eh, Len, lama banget, gue nungguin dari tadi" Aku berusaha tersadar dan mengalihkan perhatianku
"Elo ngelamun, di bawah tangga, kesambet baru tau rasa. gue dari tadi disini" Lena memukul pundakku dengan kencang, melampiaskan kekesalannya padaku.
"Aw, sakit" 
"Ya Elo, emang kenapa sih? Bisa-bisanya ngelamun"

Aku baru ingat, seharusnya aku meminta tanda tangan dia. Saat aku menengok kebelakang dia sudah tidak terlihat. Bodoh sekali, kenapa hal seperti itu bisa terjadi?

___
Karena insiden keringat dingin itu, malamnya aku demam, sepertinya karena kelelahan mengurusi pemilihan ketua osis. Aku meminta tolong Lena untuk mengurusi tugas-tugas ku sebagai sekretaris, Lena teman yang sangat bisa diandalkan.

Di hari penghitungan suara, aku belum terlalu sehat. Tapi aku tetap memaksakan datang kesekolah karena tugasku sangat penting disana. Ibu khawatir, jadi aku berangkat bersama Reja. Di tempat parkir aku melihat dia, sekilas. Mungkin hanya bayangannya saja, dia datang lebih awal, dan bayangan itu langsung menghilang. Lena menjemput ku di tempat parkir.
"Lo beneran udah sehat? Masih pucet gini" Tanya Lena, yang raut wajahnya sama seperti ibu.
"Tau tuh, maksain banget" Saut Reja
"Kalo gue ga masuk, elo mau gantiin tugas gua jadi sekre, Ja?"
"Yee, ogah. Mending gua maen futsal. Hahah"
"Dasar genduuuuut"

Saat penghitungan suara, aku mencatat semuanya. Berdiri sambil menghitung. Sampai aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menghitung. Lena yang disebelah ku menyuruh aku duduk. Disaat itu, mataku dan dia lagi-lagi bertemu, tapi, dengan rasa yang berbeda.
Mata yang bertemu dengan singkat itu menyisakan banyak tanya. Matanya seperti mata Ibu, menjelaskan kekhawatiran, raut mukanya terlihat agak sedih, tapi dia tersenyum.

"Eh, apaan sih Put. Yang bener aja, gara-gara sakit pikiran lo kemana-mana" Gumamku dalam hati. "Lagian mana mungkin sih, khawatir apaan. Kita tidak sekenal itu juga. Gausah mikir macem-macem deh, Put". Hatiku membantah dengan tegas. Lagi pula, hal-hal seperti itu biasakan, aku dengan Reja juga sering bertatap, biasa saja. Tapi kenapa tatapan dia terasa beebeda? Ah, toh dia juga pasti menatap yang lain dengan seperti itu dengan mata sayu-nya, toh dia juga tersenyum, itu bukan apa-apa.

###
Semester ganjil selalu ditutup dengan pensi dan class meeting. Kali ini aku tidak berniat menjadi panitia. Aku hanya ingin jajan makanan yang tahun lalu tidak sempat aku beli karena lupa bawa uang. Biar anak kelas tujuh saja yang menjadi panitianya.

Hari ketiga class meeting, aku mendapat kabar dari Lena, kalau dia ikut bertanding.
Aku sangat berusaha tidak perduli, memaksakan mataku untuk terlelap diatas meja, atau mengingat jawaban ujianku, yang rasanya banyak yang salah. Aku berusaha mengalihkan pikiranku, membuatnya sibuk.
Tapi, tubuhku sulit sekali diatur.

Pukul 9.15, ditunjukkan oleh jam ditanganku. Tiba-tiba Lena menarik tanganku.
"Put ayo, ka Baim tanding, kita nonton yuk!"
Dan anehnya, tubuhku mengikuti Lena tanpa merasa terpaksa sedikit pun. 

Saat itu aku sangat berusaha mengalihkan pandangan ku, ke arah perpus, kearah taman, ke arah kantin, kearah Reja yang duduk dipinggir lapangan, bahkan ke arah pohon mangga di ujung sudut sekolah. Aku sangat berusaha. Tapi di waktu itu, tubuhku berkata lain, mata kami lagi-lagi bertemu.

"Aaaa Ka Baim, semangaaat!!!" Teriak Lena disamping ku dan tentu juga teman-teman ku disebelah Lena yang berjejer panjang menonton pertandingan.

"Put, liat kan. Tadi ka Baim ngelirik ke arah kita hahahah"
Aku tidak menjawab Lena sama sekali. Ada sesuatu dalam pikiranku, mengusik. Yang aku khawatirkan mata yang bertemu ini, memiliki arti lain.


Rabu, 10 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag II)



Aku sudah duduk dikelas delapan, sama seperti dia dulu, VIII.A.
Tidak ada event khusus di semester genap kemarin, aku juga lebih sibuk pergi ketempat les. Kemarin ayah menambahkan matapelajaran les ku, sastra. Kata ayah biar anak bungsunya ini dipupuk untuk lebih rajin membaca dari pada main handphone. Tapi yang membuatku tidak malas ikut les itu, karena ada Lena di kelas sastra  entah apa tujuannya, padahal dia lebih menyukai matematika. Dan Reja, sekarang dia ikut les bahasa Inggris karena dua nilai di raport nya pas-pasan, kena semprotlah dia.

Oh iya, Reja temanku sejak kecil. Kami bertetangga. Ibuku sering menitipkan aku kepada Reja, karena badannya besar "Ja, jagain Putri ya, kalau ada apa-apa telpon bibi aja" Nanti ibu membalas dengan memberikan sepiring donat kentang kesukaannya. Yaaa, walaupun sebenarnya aku yang lebih sering menelpon tante Susi, mamanya Reja, karena Reja kalau main pasti lupa waktu. Aku pulang lebih dulu.

Lena mengajakku mendaftar osis, karena Lena ingin lebih sering berinteraksi dengan dia.
Aku memberanikan diri mendaftar osis, ternyata syaratnya tidak susah dan aku langsung diterima, katanya aku pekerja keras, kakak yang mewawancarai ku satu divisi perkap waktu pensi dulu. Iya, aku  pekerja keras, karena sepertinya hanya aku yang bekerja dibagian perkap.
Alasanku berbeda dengan Lena, aku ingin memiliki banyak teman. Karena sepertinya selama satu tahun ini aku hanya bermain dengan Lena dan Reja saja.

"Put, lo diterima jadi sekretaris?" Tanya lena yang baru saja melihat daftar nama pengurus osis yang baru.
"Iya" Jawabku, malas, karena mengantuk.
"Reja satu divisi sama gue, bidang literasi"
"Lah, tu anak kenapa bisa masuk?"
"Nggak tau, bingung gue juga. Oh iya, besok lo dateng ya! Temenin gue, gue mau liat Ka Baim. Hahaha"
"Hahaha, niat lo ga lurus, Len"

Esoknya, acara pertemuan pertama pengurus osis itu berjalan biasa saja, aku lebih banyak diam karena malu. Tapi Lena sangat gembira karena bisa melihat dia, dan Reja, seperti biasa, dia heboh diamanpun berada.

Satu bulan aku menjadi pengurus osis, sepertinya sudah mahir dalam persuratan. Dan artinya aku siap menyiapkan proposal untuk pemilihan ketua osis baru. Osis disekolah ku memang agak aneh, berbeda dari sekolah lain. Kabar gembira itupum terdengar.

"Put, Len. Ka Baim, ikut lomba sains" Reja yang menghampiri meja kami berdua, kaget.
"Harusnya kan, elo Len, ka Baim Kan udah kelas sembilan" Tambahnya dengan serius dan sedikit kecewa.
"Hah masa?? Ya ampun, Ka Baim emang keren banget sih, udah ganteng, baik hati, pinter lagi" Lena membalas sambil memegang pipinya dan tersenyum sok manis.
"Lo gamau protes, Len"
"Apaan sih, Ja. Itukan dipilih guru  lagian gue juga belum siap ikut lombanya" Wajahnya tiba-tiba kesal.
"Hahaha, yaudah" Reja berjalan kebelakang meninggalkan meja kami.

"Put, keren banget ga sih ka Baim, yaampun gue ga salah ya suka sama dia"
"Tapi saingan lo banyak, Len. Hahaha"
"Yeeee, dasar. Bilang aja lo juga suka sama ka Baim" Dengan nada semakin kesal Lena langsung membuka buku pelajarannya

Aku yang selama ini bersikap tidak peduli, tiba-tiba dihujani dengan kalimat itu, "suka".  Bagaimana bisa Lena berbicara seperti itu?, kaget bukan main. Tapi dari kalimat itu aku tersadar.

"Ka Baim, Ka Baim, Ka Baim"
"Ka Andi, Ka Andi, semangat!!"
Sorakan teman-teman ketika jam istirahat terdengar sampai kelasku. Aku dan Lena berajalan keluar, kelas kami di lantai dua, ternyata di lapangan kelas sembilan sedang bertanding futsal. Reja juga ikut didalamnya.
Lena sontak meneriaki Ka Baim. Aku ikut terhanyut dengan pertandingan itu, memperhatikan dia, semakin dalam.

Oh iya, dua minggu lalu Lena mencoba memberikan cokelat kepada dia. Malunya bukan main, Lena, padahal memberikan cokelatnya saja belum.
"Put, do'ain gue, walaupun gue banyak saingan, seenggaknya gue pernah ngasih coklat buat ka Baim, hahah" Lena merasa gemetar tapi mencoba menenangkan diri. Ini kali pertamanya Lena berhadapan langsung dengan dia, walaupun sebenarnya di osis Lena juga sering berbicara dengan dia, beda denganku yang lebih membatasi diri berbicara dengan dia, tapi yang ini beda urusan.
"Iya iya, gue do'a in, tuh orang udah keluar kelas, cepetan, ntar malah banyak yang liat"
"Oh iya, do'ain, Put"
"Iyaaa"

Lena berjalan ke arah dia, tepat didepan kelas sembilan. Aku memperhatikannya dari jauh. Menurutku Lena cukup berani, dia tidak memintaku menemaninya ketika memberikan cokelat itu.

Dari kejauhan, aku lihat Lena berhasil memberikan cokelatnya, dia menerima cokelat Lena dengan senyum. Dari tempat aku memperhatikan, aku bisa membaca gerak bibirnya "terimakasih ya" Itu yang dia katakan kepada Lena. Dia, memang benar-benar orang yang baik.

Aku yang dari tadi memperhatikan juga ikut tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku rasakan, ini ganjil sekali, wajahku tersenyum, tapi aku, sedikit susah bernafas, sesak.

Lena langsung berlari kembali, ketempatku. "Gimana Len?"
"Sumpah, gemeteran banget gue. Hahaha"
"Lo keren hahah"
"Susah payah gue memberanikan diri, gue kira Ka Baim ga bakal terima hahah"
"Tadi pas lo lari kesini, dia ngeliatin lo juga"
"Ha? Yang bener? Gila, cokelat nya manjur banget, ke notice. Hahah"
"Hahaha, bisa aja lo"

Iya, dia memperhatikan Lena berlari, ke arahku, sampai dengan  tidak sengaja, mata kami bertemu.

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag I)




"Put, Putri. kenalin ini ka Baim. Panggilan Baim, nama aslinya sih Ibrahim Zakaria, kelas VIII.A ketua osis kita." Reja mengenalkan aku dengan ketua osis baru yang sekaligus merangkap menjadi ketua pensi. Sebenarnya aku sudah tau, sebulan lalu aku juga memilihnya dalam pemilu ketua osis. Tapi, anggap saja aku memang baru tahu.

Iya, ini akhir semester ganjil, kami baru selesai melaksanakan ujian. Menunggu waktu libur akhir tahun, seminggu kedepan sekolah kami akan mengadakan pensi dan class meeting, ini acara rutin disekolahku untuk melepas penat. Tepatnya sih supaya kami tidak terlalu bosan atau bahkan luntang-lantung menunggu hasil ujian.
Aku mendaftarkan diri menjadi panitia pensi. Karena hanya dua yang dilombakan menyanyi dan membaca puisi. Kalau pensi kenaikan kelas yang dilombakan lebih banyak.

"Oh, Halo ka, aku Putri dari kelas VII.C, nanti kalo ada sesuatu yang bisa dikerjain kasih tau aja ya ka, soalnya bingung juga harus apa" Jawabku dengan nada kelelahan karena terlalu capek memindahkan bangku untuk latihan pensi sekolah, seharusnya ini pekerjaan lelaki, aku bergumam dengan kesal.

"Iya Put, semangat ya" Jawab kakak yang warna kulitnya hitam manis itu. 
"Put, gue tinggal ya, lo semangat ya haha"
"Yeee. Reja. Bukannya bantuin" Aku dengan nada kecewa membalas Reja yang sepertinya menyemangati tapi juga mengejek. Reja memang selalu menyebalkan.
"Kagak aah. Mau jajan gue. Hahah"
"Ih dasar gendut"

Hari ini pensi terakhir, aku pagi-pagi buta sudah sampai sekolah untuk menyiapkan panggung dan hadiah-hadiah. Ini memang tugas ku, entahlah kenapa waktu itu aku pilih perkap, padahal aku tahu pekerjaannya lebih berat. Sampai disana ternyata baru ada dua kaka osis yang sampai. Aku minta izin untuk menyantap bekalku, karena ga sempet sarapan dirumah, ibu siapkan dua bekal untukku. Padahal harusnya disaat seperti ini lebih seru kalau jajan. Karena lebih banyak yang berjualan di kantin, tapi aku tidak mau ambil pusing, toh, ibu sudah menyiapkan bekal dengan penuh cinta didalamnya hanya untukku.

Aku makan di pinggir mushola, tempat ini tidak terlalu terlihat dan akan nyaman jika makan disini. Baru dua tiga suap aku menyantap sarapan ku. Tiba-tiba ada suara dari jauh.
"Eh, Im. Ini gimana gue bingung?"
"Oh ini, ntar gua yang pasang. Bentar dulu ya"
Eh, itu suara Ka Baim, aku langsung menghentikan makanku. Tapi ada yang aneh saat itu.
"Ko gue jadi kaget ya?" Gumamku dalam hati yang langsung menyadari prilakuku.
"Sarapan dulu deh, toh belum banyak orang".

Setelah makan selesai, aku langsung merapikan properti panggung. Reja datang agak siang. Anak itu memang semaunya.
Aku tidak peduli.
Acara berjalan dengan lancar sampai pukul 14.00, pengumuman pemenang lomba di bacain langsung sama dia, kaka itu, ka Baim.

"Eh Put, ka Baim manis banget ya" Lena menghacurkan lamunanku, dia teman sebangkuku. Sejak pemilihan ketua osis itu Lena sangat ngefens sama dia. Ntahlah aku tidak menggubrisnya, sepertinya saat itu aku sangat sibuk dengan les bahasa Inggris ku, karena UTS sebelumnya nilaiku hancur dan Ayah benar-benar marah, alhasil dalam seminggu aku perlu empat kali pergi les dan lebih banyak berlatih soal. Ayah memang sangat keras kalau soal pendidikan.

"Adem banget ya liatnya"
"Apaan sih Len, gue kecapekan nih, beliin gue es dong. Gue baru sadar ga bawa uang jajan padahal ibu udh siapin di atas meja. Uang gue cuma pas buat ongkos angkot doang nih hahaha"
"Bisa-bisanya lo lupa, pas acara kayak gini. Lagi banyak jajanan lo ga bawa duit"
"Ya namanya juga lupa"
"Yaudah nih es gue buat lo aja, belum gue minum"
"Makasih cayang ku, eheheh"
"Idih geli gue. Eh, lo udah makan kan tapi?"
"Udah ko, Ibu bawain bekel dua"

Lena disampingku terus meperhatikannya, tanpa sadar aku juga ikut melihatnya. Terbawa, mengamati, membayangkan.

Besoknya, pembagian raport, aku peringkat tiga di kelas, hasil usaha belajar selama dua bulan, karena kalau tidak ayah akan marah. Lena peringkat satu, dia anak yang pintar rambut panjang membuat dia terlihat dewasa. Ah, sejak awal masuk aku memang mengaguminya, dan sejak itu aku memilih untuk menjadi temannya.

"Put, lo tau ga? Masa Ka Baim ternyata dulu di kelas kita, kelas VII.C. gue baru denger dari anak kelas sebelah. Terus katanya dia peringkat tiga dulu, sama kayak lo, Put"
"Apaan deh Len, ya berati lo juga sama dong sama ka Andi. Kan peringkat satu juga"
"Yee, apaan ka Andi, orang lagi ngomongin ka Baim"
"Hahaha"

Seperti itu, aku selalu mendapat kabar dia dari percakapanku dengan Lena, atau lebih sering dari teman-teman di kelas sebelah. Mereka sangat menyukai Ka Baim. Bahkan di tukang bakso sebrang sekolah topik hangat yang selalu diperbincangkan adalah dia.

Selasa, 09 Juni 2020

Hi, apa kabar?



9 Juni 2020. Iya, ini 2020, yang mestinya banyak harapan yang akan kita rasakan namun ternyata diberi banyak kejutan. Seterkejut itu, sampai aku kehabisan kata buat menggambarkan tiga bulan selama dirumah. 

Tidak banyak yang aku lakukan, bohong juga kalau aku jawab "aku produktif selama dirumah". Bagaimana dengan kalian? Kalau boleh aku tanya, apa kalian baik-baik saja?

Kalian tahu tidak? Waktu-waktu sulit setiap orang memiliki jangka masa-nya sendiri. Aku dengan masa sulitku, yaaa, yang aku rasa beberapa waktu berhasil aku lewati, walaupun beberapa juga diantaranya masih terbayang-bayang dalam pikiran. Apa kalian juga sama? Eh, ko aku jadi banyak nanya ya. Maaf, hehehe.

Apa kabar kalian? Baik-baik sajakan? Harusnya diawal tulisan ini aku bertanya seperti itu, dengan lamah lembut, tapi malah tulisan ngeselin yang dibuat. Duh dasar aku.

Kabar. Bagaimana dengan kabar diri sendiri hari ini, iya hari ini, di hari yang begitu dingin karena hujan semalam. 
Aku, selalu kesulitan menjawab pertanyaan itu.
"Apa kabar?"
"Bagaimana kabarnya?"
"Apa kamu baik-baik saja?"

Kalau boleh diam, aku lebih pilih diam, tidak menjawab. Tapi bukankah itu menyakitkan bagi "dia" yang bertanya? Jadi, meski dengan "berbohong" aku akan tetap menjawab, pertanyaan yang rasanya begitu menyesakkan ketika mendengarnya, aku jawab dengan senyum yang dihiasi kebohongan, hanya untuk terlihat "sopan".

Lagi pula, kenapa mereka tega sekali bertanya, padahal mereka tahu bagaimana kondisi kita. Maksudnya mereka yang bertanya kebanyakan yang sering berinteraksi dengan media sosial seperti WA atau IG, mereka ada dalam list " Viewed by" kita. Harusnya mereka tau. Sebel jadinya.

Kalian tahu tidak, bagiku pertanyaan itu adalah pertanyaan sakral. Hanya orang-orang yang aku izinkan yang boleh bertanya kepadaku. Wah, dari kelimat ini bukankah aku terlihat egois dan sombong? Hehe.
Tapi begitu prinsipku.

Aku tidak suka pertanyaan itu karena aku harus mati-matian mencari jawaban bohong, jawaban yang tidak akan menyakiti mereka yang bertanya, jawaban yang memberikan kepuasan kepada mereka yang bertanya agar mereka tidak menyesal telah bertanya itu kepadaku. Bukankah itu sangat sulit? Apakah kalian sama denganku?

Ah iya, bagiku pertanyaan sakral ini harus dijawab dengan jujur, mungkin karena harus jujur maka aku bisa bilang pertanyaan ini adalah sakral. Jawaban yang jujur, yang akan aku jawab kepada orang-orang yang aku izinkan atas pertanyaannya. Akan lebih menyenangkan jika pertanyaan tersebut diiringi dengan keluh kesah. Rasanya bakal melegakan ya, kalau satu pertanyaan itu bisa dijawab sekaligus dengan keluhan, meskipun sebatas keluhan saat dijalan pulang kuliah.

Iya, benar. Pertanyaan itu mutlak milik orang tuaku. Yang tidak akan pernah lelah dengan jawaban keluhanku dari satu pertanyaan "gimana kabarnya?", yang akan selalu setia mendengarkan jawabanku walau dua kata itu dijawab seribu kata, hanya mereka yang akan amat senang dengan jawaban dari kesedihanku. Bagaimana mungkin mereka tergantikan? Pertanyaan itu benar-benar mutlak milik orang tuaku.

Tapi, menurut kalian. Bagaimana "apa kabar?" dalam benak kalian?