Tidak ada event khusus di semester genap kemarin, aku juga lebih sibuk pergi ketempat les. Kemarin ayah menambahkan matapelajaran les ku, sastra. Kata ayah biar anak bungsunya ini dipupuk untuk lebih rajin membaca dari pada main handphone. Tapi yang membuatku tidak malas ikut les itu, karena ada Lena di kelas sastra entah apa tujuannya, padahal dia lebih menyukai matematika. Dan Reja, sekarang dia ikut les bahasa Inggris karena dua nilai di raport nya pas-pasan, kena semprotlah dia.
Oh iya, Reja temanku sejak kecil. Kami bertetangga. Ibuku sering menitipkan aku kepada Reja, karena badannya besar "Ja, jagain Putri ya, kalau ada apa-apa telpon bibi aja" Nanti ibu membalas dengan memberikan sepiring donat kentang kesukaannya. Yaaa, walaupun sebenarnya aku yang lebih sering menelpon tante Susi, mamanya Reja, karena Reja kalau main pasti lupa waktu. Aku pulang lebih dulu.
Lena mengajakku mendaftar osis, karena Lena ingin lebih sering berinteraksi dengan dia.
Aku memberanikan diri mendaftar osis, ternyata syaratnya tidak susah dan aku langsung diterima, katanya aku pekerja keras, kakak yang mewawancarai ku satu divisi perkap waktu pensi dulu. Iya, aku pekerja keras, karena sepertinya hanya aku yang bekerja dibagian perkap.
Alasanku berbeda dengan Lena, aku ingin memiliki banyak teman. Karena sepertinya selama satu tahun ini aku hanya bermain dengan Lena dan Reja saja.
"Put, lo diterima jadi sekretaris?" Tanya lena yang baru saja melihat daftar nama pengurus osis yang baru.
"Iya" Jawabku, malas, karena mengantuk.
"Reja satu divisi sama gue, bidang literasi"
"Lah, tu anak kenapa bisa masuk?"
"Nggak tau, bingung gue juga. Oh iya, besok lo dateng ya! Temenin gue, gue mau liat Ka Baim. Hahaha"
"Hahaha, niat lo ga lurus, Len"
Esoknya, acara pertemuan pertama pengurus osis itu berjalan biasa saja, aku lebih banyak diam karena malu. Tapi Lena sangat gembira karena bisa melihat dia, dan Reja, seperti biasa, dia heboh diamanpun berada.
Satu bulan aku menjadi pengurus osis, sepertinya sudah mahir dalam persuratan. Dan artinya aku siap menyiapkan proposal untuk pemilihan ketua osis baru. Osis disekolah ku memang agak aneh, berbeda dari sekolah lain. Kabar gembira itupum terdengar.
"Put, Len. Ka Baim, ikut lomba sains" Reja yang menghampiri meja kami berdua, kaget.
"Harusnya kan, elo Len, ka Baim Kan udah kelas sembilan" Tambahnya dengan serius dan sedikit kecewa.
"Hah masa?? Ya ampun, Ka Baim emang keren banget sih, udah ganteng, baik hati, pinter lagi" Lena membalas sambil memegang pipinya dan tersenyum sok manis.
"Lo gamau protes, Len"
"Apaan sih, Ja. Itukan dipilih guru lagian gue juga belum siap ikut lombanya" Wajahnya tiba-tiba kesal.
"Hahaha, yaudah" Reja berjalan kebelakang meninggalkan meja kami.
"Put, keren banget ga sih ka Baim, yaampun gue ga salah ya suka sama dia"
"Tapi saingan lo banyak, Len. Hahaha"
"Yeeee, dasar. Bilang aja lo juga suka sama ka Baim" Dengan nada semakin kesal Lena langsung membuka buku pelajarannya
Aku yang selama ini bersikap tidak peduli, tiba-tiba dihujani dengan kalimat itu, "suka". Bagaimana bisa Lena berbicara seperti itu?, kaget bukan main. Tapi dari kalimat itu aku tersadar.
"Ka Baim, Ka Baim, Ka Baim"
"Ka Andi, Ka Andi, semangat!!"
Sorakan teman-teman ketika jam istirahat terdengar sampai kelasku. Aku dan Lena berajalan keluar, kelas kami di lantai dua, ternyata di lapangan kelas sembilan sedang bertanding futsal. Reja juga ikut didalamnya.
Lena sontak meneriaki Ka Baim. Aku ikut terhanyut dengan pertandingan itu, memperhatikan dia, semakin dalam.
Oh iya, dua minggu lalu Lena mencoba memberikan cokelat kepada dia. Malunya bukan main, Lena, padahal memberikan cokelatnya saja belum.
"Put, do'ain gue, walaupun gue banyak saingan, seenggaknya gue pernah ngasih coklat buat ka Baim, hahah" Lena merasa gemetar tapi mencoba menenangkan diri. Ini kali pertamanya Lena berhadapan langsung dengan dia, walaupun sebenarnya di osis Lena juga sering berbicara dengan dia, beda denganku yang lebih membatasi diri berbicara dengan dia, tapi yang ini beda urusan.
"Iya iya, gue do'a in, tuh orang udah keluar kelas, cepetan, ntar malah banyak yang liat"
"Oh iya, do'ain, Put"
"Iyaaa"
Lena berjalan ke arah dia, tepat didepan kelas sembilan. Aku memperhatikannya dari jauh. Menurutku Lena cukup berani, dia tidak memintaku menemaninya ketika memberikan cokelat itu.
Dari kejauhan, aku lihat Lena berhasil memberikan cokelatnya, dia menerima cokelat Lena dengan senyum. Dari tempat aku memperhatikan, aku bisa membaca gerak bibirnya "terimakasih ya" Itu yang dia katakan kepada Lena. Dia, memang benar-benar orang yang baik.
Aku yang dari tadi memperhatikan juga ikut tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku rasakan, ini ganjil sekali, wajahku tersenyum, tapi aku, sedikit susah bernafas, sesak.
Lena langsung berlari kembali, ketempatku. "Gimana Len?"
"Sumpah, gemeteran banget gue. Hahaha"
"Lo keren hahah"
"Susah payah gue memberanikan diri, gue kira Ka Baim ga bakal terima hahah"
"Tadi pas lo lari kesini, dia ngeliatin lo juga"
"Ha? Yang bener? Gila, cokelat nya manjur banget, ke notice. Hahah"
"Hahaha, bisa aja lo"
Iya, dia memperhatikan Lena berlari, ke arahku, sampai dengan tidak sengaja, mata kami bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar