Rasa takut yang besar ini menghampiri disetiap aku masuk gerbang sekolah, ini hari terakhir disemester ganjil. Semesta berbaik hati kepadaku, ada waktu dua minggu sampai ajaran baru dimulai di awal tahun nanti. Artinya dalam dua minggu aku tidak akan bertemu dengan dia, aku harus memperbaiki sikapku, prilaku dan perasaan yang aneh ini jika tidak ditata akan semakin menjadi-jadi. Lena, dia sahabat, tidak mungkinkan aku menjadi jahat hanya karena aku, yang sampai saat ini saja aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku, kecuali jika Lena banyak bercerita, tentang dia.
Dua minggu berlalu begitu cepat tanpa basa-basi, ajaibnya kepalaku sama sekali tidak dilintasi oleh dia, aku baik-baik saja dan akan selalu begitu. Semester genap ini sama seperti biasanya, aku tidak menyiapkan rencana apapun, paling ayah akan lebih sering menghubungi ku untuk pergi les, seperti alarm, tidak pernah terlewat dan ibu akan geleng-geleng kepala di meja makan memperhatikan anaknya yang selalu cemberut kalau ayah sudah berbicara tentang les.
"Put, Lena ga main kerumah lagi? Perasaan selama liburan ini kamu ga pergi main?" Ibu bertanya karena baru menyadari itu, aku lebih memilih di kamar selama dua minggu, iya betul, untuk menghindari dari mendengar kabar dari dia, walaupun sebenarnya aku juga tidak tau apa yang ku lakukan, karena aku terlalu takut.
"Gatau tuh, Lena katanya lagi sibuk belajar masak sama mamanya"
"Rajin banget Lena, kamu ga mau ikutan belajar masak juga? Nanti Ibu bantuin loh"
"Gamau ah, Ibu. Aku motong bawang aja salah terus sama Ibu"
"Hahahahaaa, perempuan ini" Ayah dan ibu tertawa mendengarkan jawabanku.
Pagi itu singkat sekali, aku sudah berada di dalam kelas. Hari pertama masuk, beberapa teman-teman masih ada yang berlibur, sekolah belum seramai hari biasanya, pun kantin, baru dua gerai yang buka, termasuk dia, aku tidak melihat dia hari itu. Aku rasa, semesta masih berbaik hati kepadaku untuk melanjutkan memperbaiki diriku, terhadap hati yang begitu naif dan tidak mau terima segala proses-proses tentang jatuh hati.
***
Satu minggu berlalu dengan baik-baik saja, dan di awal minggu kedua ini, sepertinya semua akan berjalan dengan indah tanoa ada satu kekecewaan apapun.
"Lena, lo udah bisa masak ayam?" Tanyaku saat melihat Lena masuk kelas, aku bertanya bahkan saat lena belum sempat meletakkan tasnya.
"Belum, susah ternyata masak. Eh sebenarnya susah ngumpulin niatnya. Hahaha"
"Yeee haha, Ibu nyuruh kamu main, ibu masakin dendeng ayam buat kamu"
"Ha dendeng ayam? Baru denger! Ayam fillet kali?!"
"Ga ngerti gue"
"Oke ntar pulang sekolah gue bareng ya kerumah lo!"
tetapi, menjelang jam istirahat, pikiran ku langsung kosong setelah mendengar apa yang Lena katakan
"Eh Put, ternyata bener!"
"Apanya yang bener?"
"Itu ka Biam, pacaran sama ka Miranda"
Aku yang selama tiga minggu ini tidak mendengarnya sama sekali, dan sangat berusaha menghindarinya. Tiba-tiba kabar yang membuat hatiku teriris itu hadir dari sahabatku. Yang aku takutkan selama ini, sesuatu yang selama ini selalu berperang didalam kepalaku, tubuhku yang selalu menolak sekaligus menerima, tentang beberapa detik tatapan disaat mata kita saling bertemu kala itu, terjawab.
"Gue tadi, liat mereka jalan kekantin bareng. Sumpah ya, gue kaget banget. Gue kira kabar burung, anak-anak di facebook ngomongin"
"Biarin aja Len, itukan pilihan mereka, lo gausah sedih sedih gitu deh, toh lo kan bukan siapa-siapa nya ka Baim. Hahaha"
"Ya iya sih, tapi ga gitu juga. Ah males gue ngomong sama lo, bete. Bukannya belain temennya. Sedih nih gue"
"Hahaha iya iya maaf, sini sini peluk. Utuk utuk"
*****
Beberapa hari ini, aku semakin hancur. Bukan karena melihat dia yang sudah berdua. Hatiku hancur saat benar-benar menyadari apa yang sudah terjadi, terkhusus pada hatiku. Ambruk, runtuh, berkeping, menjadi serbuk yang mudah berhamburan ditiup nafas kesedihan.
Aku, menyakiti Lena.
Disepanjang perjalanan pulang sekolah, dikepalaku terus berputar satu kalimat tanya
"apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"
"Apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"
Aku mengerti perasaan yang salah ini setelah melihat Lena menangis karena dia. Hatiku ikut menangis. Bukankah aku juga sudah bersikap jahat kepada Lena? dengan membiarkan kebingungan yang sudah terjawab menjadi keputusan. Keputusan untuk memahami dan bersikap egois bahkan protektif dengan semua alur yang mengalir dalam hatiku. Aku jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar