Kamis, 11 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag III)



Aku masih terhanyut dengan pertandingan itu, semakin dalam, memperhatikan. sorak sorai disana tidak terdengar sama sekali, semua terlihat gelap, buram, kecuali dia.

Selama di osis, aku pikir aku tidak pernah berbicara dengan dia, jika ada yang didiskusikan, ka Aisah, sekretaris satu yang lebih sering berbincang dengan dia. Aku? Hanya mngurusi surat surat sederhana, pun tidak ada hal yang perlu di bicarakan dengan dia. Aku hanya terlalu naif untuk memahami diriku sendiri. Termasuk kemarin.

"Besok kamu minta tanda tangan Baim, bilang ini nama calon ketua osisnya perlu persetujuan" Ka Aisah menjelaskan dengan baik, aku kemudian mengangguk mengiyakan.

Tapi, seharian itu aku tidak bertemu dengan dia. Sampai bel pulang sekolah, saat itu aku berada tepat di bawah anak tangga, menunggu Lena. Tapi aku benar-benar tidak menyangka. Dia, lewat di depan ku. Aku kaget dan kebingungan harus apa, keringat dingin tiba-tiba keluar di dahiku, badanku tak bisa bergerak, bibir ku kaku, mataku berusaha membuang arah dari dia. Dia tidak melirik ku sama sekali, terus berjalan melewatiku. Akhirnya tubuhku disadarkan Lena, yang datang.

"Put, Put, Putri!"
"Eh, Len, lama banget, gue nungguin dari tadi" Aku berusaha tersadar dan mengalihkan perhatianku
"Elo ngelamun, di bawah tangga, kesambet baru tau rasa. gue dari tadi disini" Lena memukul pundakku dengan kencang, melampiaskan kekesalannya padaku.
"Aw, sakit" 
"Ya Elo, emang kenapa sih? Bisa-bisanya ngelamun"

Aku baru ingat, seharusnya aku meminta tanda tangan dia. Saat aku menengok kebelakang dia sudah tidak terlihat. Bodoh sekali, kenapa hal seperti itu bisa terjadi?

___
Karena insiden keringat dingin itu, malamnya aku demam, sepertinya karena kelelahan mengurusi pemilihan ketua osis. Aku meminta tolong Lena untuk mengurusi tugas-tugas ku sebagai sekretaris, Lena teman yang sangat bisa diandalkan.

Di hari penghitungan suara, aku belum terlalu sehat. Tapi aku tetap memaksakan datang kesekolah karena tugasku sangat penting disana. Ibu khawatir, jadi aku berangkat bersama Reja. Di tempat parkir aku melihat dia, sekilas. Mungkin hanya bayangannya saja, dia datang lebih awal, dan bayangan itu langsung menghilang. Lena menjemput ku di tempat parkir.
"Lo beneran udah sehat? Masih pucet gini" Tanya Lena, yang raut wajahnya sama seperti ibu.
"Tau tuh, maksain banget" Saut Reja
"Kalo gue ga masuk, elo mau gantiin tugas gua jadi sekre, Ja?"
"Yee, ogah. Mending gua maen futsal. Hahah"
"Dasar genduuuuut"

Saat penghitungan suara, aku mencatat semuanya. Berdiri sambil menghitung. Sampai aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menghitung. Lena yang disebelah ku menyuruh aku duduk. Disaat itu, mataku dan dia lagi-lagi bertemu, tapi, dengan rasa yang berbeda.
Mata yang bertemu dengan singkat itu menyisakan banyak tanya. Matanya seperti mata Ibu, menjelaskan kekhawatiran, raut mukanya terlihat agak sedih, tapi dia tersenyum.

"Eh, apaan sih Put. Yang bener aja, gara-gara sakit pikiran lo kemana-mana" Gumamku dalam hati. "Lagian mana mungkin sih, khawatir apaan. Kita tidak sekenal itu juga. Gausah mikir macem-macem deh, Put". Hatiku membantah dengan tegas. Lagi pula, hal-hal seperti itu biasakan, aku dengan Reja juga sering bertatap, biasa saja. Tapi kenapa tatapan dia terasa beebeda? Ah, toh dia juga pasti menatap yang lain dengan seperti itu dengan mata sayu-nya, toh dia juga tersenyum, itu bukan apa-apa.

###
Semester ganjil selalu ditutup dengan pensi dan class meeting. Kali ini aku tidak berniat menjadi panitia. Aku hanya ingin jajan makanan yang tahun lalu tidak sempat aku beli karena lupa bawa uang. Biar anak kelas tujuh saja yang menjadi panitianya.

Hari ketiga class meeting, aku mendapat kabar dari Lena, kalau dia ikut bertanding.
Aku sangat berusaha tidak perduli, memaksakan mataku untuk terlelap diatas meja, atau mengingat jawaban ujianku, yang rasanya banyak yang salah. Aku berusaha mengalihkan pikiranku, membuatnya sibuk.
Tapi, tubuhku sulit sekali diatur.

Pukul 9.15, ditunjukkan oleh jam ditanganku. Tiba-tiba Lena menarik tanganku.
"Put ayo, ka Baim tanding, kita nonton yuk!"
Dan anehnya, tubuhku mengikuti Lena tanpa merasa terpaksa sedikit pun. 

Saat itu aku sangat berusaha mengalihkan pandangan ku, ke arah perpus, kearah taman, ke arah kantin, kearah Reja yang duduk dipinggir lapangan, bahkan ke arah pohon mangga di ujung sudut sekolah. Aku sangat berusaha. Tapi di waktu itu, tubuhku berkata lain, mata kami lagi-lagi bertemu.

"Aaaa Ka Baim, semangaaat!!!" Teriak Lena disamping ku dan tentu juga teman-teman ku disebelah Lena yang berjejer panjang menonton pertandingan.

"Put, liat kan. Tadi ka Baim ngelirik ke arah kita hahahah"
Aku tidak menjawab Lena sama sekali. Ada sesuatu dalam pikiranku, mengusik. Yang aku khawatirkan mata yang bertemu ini, memiliki arti lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar