Sabtu, 11 Juli 2020

Sarah (Bag 2)






Mentari menyiramkan sinarnya ke bumi, sinar yang menghangatkan setalah bumi diguyur dinginnya malam 12 jam lamanya. sinar itu menyibak rumput di sebrang jalan, mengetuk gerbang dan mampir ke pelataran rumah, menembus kaca jendela kamar Sarah, membelai lembut wajahnya dengan kehangatan, seolah berkata "Sarah, bangunlah, fajarmu hampir tiba".

Setiap pagi Sarah terbangun dengan senyum sabit di bibirnya dengan cekungan yang membentuk danau kecil di pipi sebalah kirinya, hiasan kecil itu membuatnya terlihat semakin manis ketika tersenyum. Apapun yang akan dihadapinya Sarah tidak peduli, asalkan bersama Fajar, dia akan merasa baik-baik saja. Sama seperti hari ini, dia akan melalui ujian nasional, ujian paling mengerikan dimasa terakhir SMAnya, sudah berbulan-bulan lamanya dia menyiapkan, pikiran dan mental dengan menguras waktu juga tenaga hanya untuk menyelesaikan masa tiga tahun dengan seragam abu-abunya yang mulai kusam. Bukankah ini tidak adil, bagaimana sistem pendidikan ini menentukan kelulusan hanya dengan enam mata pelajaran yang diujikan, sementara aku sudah belajar sangat banyak mata pelajaran, rasanya semua yang aku lakukan sia-sia, padahal sekolah sangat menyenangkan. gumamnya setalah terduduk dan mendatarkan senyum sabitnya.

Sarah mengumpulkan tenaganya untuk beranjak dari empat tidur, membiarkannya berantakan, karena dia tahu setalah pulang sekolah tempat tidurnya akan rapih sendiri. Sarah berjalan menuju dapur, tempat mamanya tersayang biasanya menyiapkan sarapan paling lezat di dunia, walaupun hanya sekedar nasi goreng dan telur mata sapi. Dengan rambut yang masih acak-acakan akibat tidurnya yang tidak pernah anggun, Sarah menarik bangku di meja makaun untuk mempersilahkan tubuhnya duduk, bukan duduk, mungkin mempersilahkannya untuk tidur lagi, Sarah meletakkan kepalanya diatas meja makan, dengan menguap dia mulai berbicara dengan mamanya "ma, hari ini aku ujian"

"makanya semangat dong, masa lemes gini mau ujian" mamahnya menoleh dengan senyum, melihat anak satu-satunya yang kalau baru bangun ini sangat susah sekali untuk cepat tersadar, seolah-olah rasa kantuk selalu memeluknya, tapi mamanya selalu memaklumi, karena ia tahu putrinya selalu menggunakan waktunya dengan baik, semalam putrinya belajar hingga larut, bahkan lebih sering belajar sampai berganti hari.

"ini nasi gorengnya, cepet cuci muka, mainum air putihnya, ayoo bangun" sambil menarik lengan Sarah, mamahnya membantu sarah untuk bangun.
"iya mah" Sarah merespon dengan lesu, dan mengusahakan tubuhnya bergerak untuk cuci muka

Setelah sarapan, Sarah bergegas untuk siap-siap, jarum panjang menunjukkan angka empat. Sebentar lagi setengah tujuh, ucapnya pelan. Sarah semakin mempercepat persiapannya, melihat lagi apa yang perlu dibawa, mengecek ulang perlengkapan ujiannya agar tidak ada yang tertinggal, kalau ada yang tertinggal tidak ada yang akan bertanggungjawab, karena syarat ujian itu sudah dia hafal dari beberapa kali tryout di sekolah.

Tiinn,,,, Tiiiinnn,,, Tiiinn,,,
Suara klakson yang akrab tiap pagi ia dengar sudah menyaut, suara klakson dari motor beat yang sudah dimodifikasi berbeda jauh dari aslinya, joknya berwarna jingga, stikernya berwarna abu-abu, seolah-olah menggambarkan walaupun mendung, senja akan akan selalu hadir tepat waktu.

"Sarah, Fajar udah jemput, cepetan" mamahnya berteriak, tanpa membuka pintu mamah Sarah pun sudah hafal, dia adlah Fajar.
"iya ma, salaman" Sarah meminta tangan mamanya untuk dicium, mencium tangan mamanya adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh dilewatkan, wajib. "doain ya ma, doain semoga Sarah bisa ngerjain soalnya lancar"
"iya sayang, selalu, hati-hati ya"
"iya ma"

Sarah melangkah keluar membawa helm coklatnya, menghampiri Fajar yang sudah menunggu didepan gerbang. Dari sana terlihat Fajar yang memasang wajah kesal, walaupun baru lima menit, itu sudah menjadi waktu yang sangat lama bagi Fajar untuk menunggu Sarah, maunya Fajar, ketika ia sampai, Sarah sudah menunggu di luar rumah, agar bisa langsung berangkat kesekolah. dan sarah hanya membalasnya dengan senyum simpul kecil.

"lama banget sih"
"ya, maaf, tadi abis beresin pensil"
"bukannya dari malem juga, cepetan udah telat tau"
"iya-iya"

Sudah menjadi peraturan tidak tertulis bagi mereka berdua, Fajar menjemput Sarah tepat pukul 6.30, jika kurang dari itu, dan Sarah belum siap, maka Fajar akan mengomel kesal, dan jika lewat dari itu Sarah akan mendiamkan Fajar seharian, dengan terpaksa naik kemotornya, tidak bersuara, karena memang dia malas berdebat dengan Fajar, khas sekali dengan emosi anak muda. Tapi Fajar lebih takut terlambat menjemput Sarah, Fajar tidak akan sanggup jika didiamkan Sarah. Maka, meski rumahnya lebih dekat ke sekolah, Fajar akan tetap menjemput Sarah, berbalik arah memunggungi jalanan sekolah, jaraknya, 2 kali jarak rumahnya sendiri ke sekolah. Tapi Fajar bisa dan harus melakukan itu, untuk orang yang disayanginya.

*****

"Woy" Fajar menyibak rambut Sarah yang sedang duduk di bangkunya.

Lima tahun lalu, 18 Agustus tepatnya, setelah hari kemerdekaan dirayakan diseluruh negeri ini, Ayah Sarah pergi meninggalkannya, meninggalkan mamanya, berdua di rumah. Itu adalah hari paling menyakitkan bagi Sarah, hati dan tubuhnya tidak mampu menerima kenyataan ditinggalkan. Tapi meninggalkan dan ditinggalkan adalah proses kehidupan yang paling pasti. Butuh waktu lama bagi Sarah untuk benar-benar bisa menerima, mamanya selalu menguatkan anak satu-satunya itu, tidak pernah lelah, mencoba berbicara perlahan, mengajaknya pergi untuk menghiburnya, mendoakannya kepada Tuhan agar anaknya ini diberi kekuatan. Satu minggu kemudian, Sarah baru bisa menguatkan diri pergi kesekolah, dan selama satu minggu dia hanya menatap papan tulis dengan pikiran yang kosong.

kenapa ayah harus membantu mereka menyiapkan acara itu, kenapa ayah harus mau menerima ajakan mereka hanya untuk membantu, padahal ayah sedang sakit, ayah, kenapa ayah? ayah, aku sangat membenci mereka, mereka semua yang mengajak ayah untuk acara tahunan yang tidak jelas itu. mereka memang tidak tahu diri, sudah tahu ayah sedang sakit, kenapa mereka berani sekali membuat ayah bangun dari tempat tidur hanya untuk menerima mereka bertamu, ayah, kenapa ayah. Pikiran Sarah hanya berputar tentang kepergian ayahnya, membuatnya kacau, membuat rasa bencinya muncul tiba-tiba, pada semua orang dan pada hari perayaan kemerdekaan yang membuatnya ayahnya kelelahan dan memutuskan pergi meninggalkannya

Fajar yang saat itu melihat Sarah hanya diam merasa perlu untuk di ganggu, untuk memastikan bahwa anak yang ada di dalam kelasnya ini baik-baik saja. Saat itu kelas dua baru berjalan satu bulan, Fajar memang anak terjail yang mengganggu temannya.

"apaan sih lo, lo kalo gangguin gue lagi, gue hajar ya lo" respon Sarah setelah Fajar menyibak rambutnya, membuat Fajar kaget.

"dih, biasa aja kali, cuma gitu doang"
"dasar, orang jail, ga bisa diem!" jawab Sarah semkain ketus
"yaudah, biasa dong, lebay lo"
"heh, lo ya yang ganggu ganggu, bisa ga sieh diem"

Fajar terdiam. Sangat kaget dengan respon Sarah yang membentaknya. Sebelumnya Sarah anak yang baik, sopan, pintar, semua orang menghampirinya untuk meminta bantuannya mengerjakan soal. Tapi semuanya berubah saat ayahnya pergi, Sarah hanya diam, teman-temannya tidak ada yang berani menegurnya, ekspresi Sarah sangat berubah. Memang benar kata orang, kehilangan orang terkasih tidak semudah yang di bayangkan, dan kehilangan juga mampu membawa pergi serta seseorang untuk menemaninya. Sama seperti Sarah, sifat baiknya ikut pergi bersama kepergian sang ayah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar