Sabtu, 11 Juli 2020

Satu dekade, Juli #2




Juli, kali ini aku memutuskan untuk pergi, kembali ketempatku yang mampu untuk bisa bersamamu, kau pasti tau kemana aku pergi. Di ibukota paling sibuk di negeri ini aku menaruh tujuan hidupku hanya untukmu, tempat yang ku pilih untuk berlari mengejarmu, tempatku membangun mimpi karenamu. Disana aku akan sibuk, Juli, sibuk dengan segala kerumitan untuk bertahan dari seleksi alam yang sangat mengerikan ini, tentu saja denganmu.

Juli, terkadang aku merasa tubuhku ini tidak mampu mencapai kapasitasnya lagi dan aku hanya akan mengeluh,merengek, menangis seperti anak kecil yang tidak diizinkan untuk makan es krim. Tapi dirimu selalu hadir dalam berbagai bentuk, seperti malaikat paling rupawan, mendekat kepadaku perlahan "bertahan, bertahanlah, kamu pasti bisa melewatinya" bisikmu.

Bisikmu selalu menjadi semangatku, tanpa kusadari, aku menggantungkan diri kepadamu. Saat diriku diambang kekacauan dari semua perjalananku yang amat sangat melelahkan di sana, yang aku cari pertama adalah dirimu. Saat dunia ini menolak kehadiranku dengan mengacuhkan sakitnya proses yang ku tempuh, nama yang pertama ku sebut adalah dirimu. Dan saat mimpiku mulai menyerah untuk menopangku menulis diksi yang tidak pernah mampu kubayangkan seperti apa, seseorang yang selalu kuhadirkan dalam benakku adalah dirimu.

Juli, bukankah aku terlalu berlebihan untuk sekedar meminjam bayanganmu untuk kugunakan melanjutkan hidupku yang memang sudah sia-sia ini? tentu saja itu sangat berlebihan, iyakan Juli?
Juli, aku manusia terkutuk yang berani-beraninya mendukan Tuhan dengan dirimu. Tapi, Juli, aku tidak memiliki kuasa apapun untuk mencegahmu hadir dalam setiap mimpi malamku, karena memang aku hanya bergantung padamu.

Juli, aku telah sampai, ketempat ini, tempat yang menyediakan hadirmu, sekaligus memberikan jarak terjauh aku dan dirimu. Juli, jarak bukan hanya sekedar jarak, tapi darinya aku juga sadar bahwa jarak selalu memberikan batas, batas yang akan sulit untuk dilalui, bahkan dengan do'a paling mujarab sekalipun. Aku semakin sadar, bahwa memang batas ini sangat pantas untukku, bahwa jarak yang memberikan batas, ternyata juga menyediakan cermin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar