Rabu, 22 Juli 2020

Takdir Kehilangan

Kepergian adalah hal yang pasti. Semua yang pernah bersentuhan dengan hidup ini pun berhak kehilangan. Mendekap setiap rangkai kenangan, menangisi kebaikan, mengumpat keburukan, meneriakan kesedihan, sangatlah lumrah. Tapi hal yang harus dipahami, bahwa seluruh takdir yang terjalin perlu dimaklumi

Jalan Sukses - Tentang Kamu

Hari ini 22 Juli 2020, saya baru saja menyelesaikan bab ke 18 Novel Tere Liye yang berjudul Tentang Kamu. Di sana saya banyak belajar, memang benar, duka dapat membawa kita berkeliling dunia, berkendara keindahan kata dengan mengitari waktu. Di buku itu menceritakan kisah perjalanan seorang anak perempuan menjadi besar dengan nama Sri Ningsih. perjalanan hidup yang walaupun fiksi, diceritakan amat nyata, tertata rapi, mengesankan, membuat berdecak kagum, ikut meringis sedih sekaligus bangga, seperti ada sihir di dalamnya.

Iya, perjalanan kesuksesan Sri Ningsih yang tidak semudah berkedip mata membaca bukunya. Kalau memang ada orang bernama Sri Ningsihdia benar-benar ada di bumi ini, rasanya mau saya jadikan idola hidup saya. Cerita tentang keluarganya yang sangat bahagia walau sebentar, adiknya yang lucu, kesabarannya berada di pulau Bungin Sumbawa hingga Pesantren di Surakarta, perjalannya tidak mudah, bahkan diceritakan amat mengenaskan dengan kepedihan yang bagi orang saat ini sangat mustahil dijalani.

Tiba di Jakarta adalah awal semangatnya membara, sejak kecil telah terlatih hidup tegas terhadap diri sendiri, membuat yang membaca ini merasa amat malu. Bangun pukul empat subuh, dan baru tidur lagi tengah malam itupun diniatkan untuk beristirahat dari lelah. Tentang perjuangannya yang tidak pernah menyerah, keikhlasannya, pikiran positifnya, cara pandang yang visioner, etos kerja yang tidak pernah runtuh, yang paling penting Sri Ningsih digambarkan sebagai orang yang memiliki hati yang tangguh, tidak pernah terlintas di hatinya rasa dendam dan dengki walau sebesar debu pasir dan selalu memiliki prasangka baik pada setiap orang, rasanya amat tidak mungkin bagi diri ini memiliki sifat seperti Sri Ningsih, Tapi Saya akan berusaha.

Minggu, 19 Juli 2020

Aku Telah Mati (Puisi)

Langkah-langkah melebur ketakutan
Gemetar menjelema kepasrahan
Aku membau, semakin membau, busuk
Ku tutup hidungku dengan sobekan sisa pakaian dalam, percuma, menyeruak

Satu malam lagi ada yang telah dikeluarkan
Satu kali lagi ada nafsu yang telah dilampiaskan
Aku terkapar, mau tidak mau telah dinikmati
Aku terbujur, selagi belum kaku dipaksa melayani

Dingin, aku disakiti dengan basah
Gerah, pikiranku meronta kata sudah
Lemah, di waktu ini aku terus tengadah
Payah, ragaku tetap bersedia berkisah

Ma, tubuhku bukan miliku lagi
Ma, citaku telah ku pasrahkan pergi
Mama, peluhku kubiarkan tidak membantu sama sekali

Semakin malam, semakin menerkam
Kali ini, orang berdasi menghampiri masam
Ah. Aduh. Desah tak sanggup dilantunkan temaram
Lembaran merah terlempar, selesai macam-macam

Tubuhku runtuh, terbayang kemudi
Pilihan jalan layang memang telah salah dilewati
Aku di sini, tak peduli, pun tak meratapi
Sejak itu. Setiap hari aku telah mati.

Sabtu, 18 Juli 2020

Berduka (Puisi)


BERDUKA

Sebab akibat kehidupan selalu membawa pertanyaan
Meraih juang, merintih jalan diperayaan
Mereka berisik, melirik, berucap, merengkuh persemayaman
Setiap duka memiliki hak tiga jawaban

/1//
Takdir diberikan kepada sesiapa bersedia
Juluran tangan menelungkup bayangan dalam doa
Sakit dan bahagia adalah harta paling berharga
Maka ikhlas, adalah yang pertama

/2//
Setiap bagian memiliki porsi keistimewaan
Daun mampu melihat, tanah mampu merasakan
Angin memberikan kesempatan dari perbedaan
kedua, memahami hikmah adalah perahu pelayaran

/3//
rel-rel kereta mengisyaratkan keberangkatan
gerbong-gerbong memberi ruang pernapasan
listrik mau tidak mau memberikan tujuan
yang terakhir, hidup harus terus dilanjutkan

Selasa, 14 Juli 2020

Satu dekade, Juli #3



Juli, aku sangat membenci hari-hariku terakhir kebelakang. Rasanya begitu hampa, aku selalu menunggu tapi tidak tahu apa yang ku tunggu, aku melamun tapi tidak tahu arah pikiran ku. Bobrok sekali rasanya waktu luang yang sama sekali tidak bisa ku manfaatkan ini, Juli.

Juli, apakah dirimu di sana memiliki susana yang baik? Kalau iya, aku sangat bersyukur, semesta memayungi dengan kehangatan, bumi membiarkan dirinya mendukungmu, angin memelukmu dengan lembut, waktu memberlakukanmu dengan baik. Aku akan sampaikan pada Tuhan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah mengizinkanmu memiliki memiliki hari yang sangat bermanfaat untukmu sendiri.

Sabtu, 11 Juli 2020

Sarah (Bag 2)






Mentari menyiramkan sinarnya ke bumi, sinar yang menghangatkan setalah bumi diguyur dinginnya malam 12 jam lamanya. sinar itu menyibak rumput di sebrang jalan, mengetuk gerbang dan mampir ke pelataran rumah, menembus kaca jendela kamar Sarah, membelai lembut wajahnya dengan kehangatan, seolah berkata "Sarah, bangunlah, fajarmu hampir tiba".

Setiap pagi Sarah terbangun dengan senyum sabit di bibirnya dengan cekungan yang membentuk danau kecil di pipi sebalah kirinya, hiasan kecil itu membuatnya terlihat semakin manis ketika tersenyum. Apapun yang akan dihadapinya Sarah tidak peduli, asalkan bersama Fajar, dia akan merasa baik-baik saja. Sama seperti hari ini, dia akan melalui ujian nasional, ujian paling mengerikan dimasa terakhir SMAnya, sudah berbulan-bulan lamanya dia menyiapkan, pikiran dan mental dengan menguras waktu juga tenaga hanya untuk menyelesaikan masa tiga tahun dengan seragam abu-abunya yang mulai kusam. Bukankah ini tidak adil, bagaimana sistem pendidikan ini menentukan kelulusan hanya dengan enam mata pelajaran yang diujikan, sementara aku sudah belajar sangat banyak mata pelajaran, rasanya semua yang aku lakukan sia-sia, padahal sekolah sangat menyenangkan. gumamnya setalah terduduk dan mendatarkan senyum sabitnya.

Sarah mengumpulkan tenaganya untuk beranjak dari empat tidur, membiarkannya berantakan, karena dia tahu setalah pulang sekolah tempat tidurnya akan rapih sendiri. Sarah berjalan menuju dapur, tempat mamanya tersayang biasanya menyiapkan sarapan paling lezat di dunia, walaupun hanya sekedar nasi goreng dan telur mata sapi. Dengan rambut yang masih acak-acakan akibat tidurnya yang tidak pernah anggun, Sarah menarik bangku di meja makaun untuk mempersilahkan tubuhnya duduk, bukan duduk, mungkin mempersilahkannya untuk tidur lagi, Sarah meletakkan kepalanya diatas meja makan, dengan menguap dia mulai berbicara dengan mamanya "ma, hari ini aku ujian"

"makanya semangat dong, masa lemes gini mau ujian" mamahnya menoleh dengan senyum, melihat anak satu-satunya yang kalau baru bangun ini sangat susah sekali untuk cepat tersadar, seolah-olah rasa kantuk selalu memeluknya, tapi mamanya selalu memaklumi, karena ia tahu putrinya selalu menggunakan waktunya dengan baik, semalam putrinya belajar hingga larut, bahkan lebih sering belajar sampai berganti hari.

"ini nasi gorengnya, cepet cuci muka, mainum air putihnya, ayoo bangun" sambil menarik lengan Sarah, mamahnya membantu sarah untuk bangun.
"iya mah" Sarah merespon dengan lesu, dan mengusahakan tubuhnya bergerak untuk cuci muka

Setelah sarapan, Sarah bergegas untuk siap-siap, jarum panjang menunjukkan angka empat. Sebentar lagi setengah tujuh, ucapnya pelan. Sarah semakin mempercepat persiapannya, melihat lagi apa yang perlu dibawa, mengecek ulang perlengkapan ujiannya agar tidak ada yang tertinggal, kalau ada yang tertinggal tidak ada yang akan bertanggungjawab, karena syarat ujian itu sudah dia hafal dari beberapa kali tryout di sekolah.

Tiinn,,,, Tiiiinnn,,, Tiiinn,,,
Suara klakson yang akrab tiap pagi ia dengar sudah menyaut, suara klakson dari motor beat yang sudah dimodifikasi berbeda jauh dari aslinya, joknya berwarna jingga, stikernya berwarna abu-abu, seolah-olah menggambarkan walaupun mendung, senja akan akan selalu hadir tepat waktu.

"Sarah, Fajar udah jemput, cepetan" mamahnya berteriak, tanpa membuka pintu mamah Sarah pun sudah hafal, dia adlah Fajar.
"iya ma, salaman" Sarah meminta tangan mamanya untuk dicium, mencium tangan mamanya adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh dilewatkan, wajib. "doain ya ma, doain semoga Sarah bisa ngerjain soalnya lancar"
"iya sayang, selalu, hati-hati ya"
"iya ma"

Sarah melangkah keluar membawa helm coklatnya, menghampiri Fajar yang sudah menunggu didepan gerbang. Dari sana terlihat Fajar yang memasang wajah kesal, walaupun baru lima menit, itu sudah menjadi waktu yang sangat lama bagi Fajar untuk menunggu Sarah, maunya Fajar, ketika ia sampai, Sarah sudah menunggu di luar rumah, agar bisa langsung berangkat kesekolah. dan sarah hanya membalasnya dengan senyum simpul kecil.

"lama banget sih"
"ya, maaf, tadi abis beresin pensil"
"bukannya dari malem juga, cepetan udah telat tau"
"iya-iya"

Sudah menjadi peraturan tidak tertulis bagi mereka berdua, Fajar menjemput Sarah tepat pukul 6.30, jika kurang dari itu, dan Sarah belum siap, maka Fajar akan mengomel kesal, dan jika lewat dari itu Sarah akan mendiamkan Fajar seharian, dengan terpaksa naik kemotornya, tidak bersuara, karena memang dia malas berdebat dengan Fajar, khas sekali dengan emosi anak muda. Tapi Fajar lebih takut terlambat menjemput Sarah, Fajar tidak akan sanggup jika didiamkan Sarah. Maka, meski rumahnya lebih dekat ke sekolah, Fajar akan tetap menjemput Sarah, berbalik arah memunggungi jalanan sekolah, jaraknya, 2 kali jarak rumahnya sendiri ke sekolah. Tapi Fajar bisa dan harus melakukan itu, untuk orang yang disayanginya.

*****

"Woy" Fajar menyibak rambut Sarah yang sedang duduk di bangkunya.

Lima tahun lalu, 18 Agustus tepatnya, setelah hari kemerdekaan dirayakan diseluruh negeri ini, Ayah Sarah pergi meninggalkannya, meninggalkan mamanya, berdua di rumah. Itu adalah hari paling menyakitkan bagi Sarah, hati dan tubuhnya tidak mampu menerima kenyataan ditinggalkan. Tapi meninggalkan dan ditinggalkan adalah proses kehidupan yang paling pasti. Butuh waktu lama bagi Sarah untuk benar-benar bisa menerima, mamanya selalu menguatkan anak satu-satunya itu, tidak pernah lelah, mencoba berbicara perlahan, mengajaknya pergi untuk menghiburnya, mendoakannya kepada Tuhan agar anaknya ini diberi kekuatan. Satu minggu kemudian, Sarah baru bisa menguatkan diri pergi kesekolah, dan selama satu minggu dia hanya menatap papan tulis dengan pikiran yang kosong.

kenapa ayah harus membantu mereka menyiapkan acara itu, kenapa ayah harus mau menerima ajakan mereka hanya untuk membantu, padahal ayah sedang sakit, ayah, kenapa ayah? ayah, aku sangat membenci mereka, mereka semua yang mengajak ayah untuk acara tahunan yang tidak jelas itu. mereka memang tidak tahu diri, sudah tahu ayah sedang sakit, kenapa mereka berani sekali membuat ayah bangun dari tempat tidur hanya untuk menerima mereka bertamu, ayah, kenapa ayah. Pikiran Sarah hanya berputar tentang kepergian ayahnya, membuatnya kacau, membuat rasa bencinya muncul tiba-tiba, pada semua orang dan pada hari perayaan kemerdekaan yang membuatnya ayahnya kelelahan dan memutuskan pergi meninggalkannya

Fajar yang saat itu melihat Sarah hanya diam merasa perlu untuk di ganggu, untuk memastikan bahwa anak yang ada di dalam kelasnya ini baik-baik saja. Saat itu kelas dua baru berjalan satu bulan, Fajar memang anak terjail yang mengganggu temannya.

"apaan sih lo, lo kalo gangguin gue lagi, gue hajar ya lo" respon Sarah setelah Fajar menyibak rambutnya, membuat Fajar kaget.

"dih, biasa aja kali, cuma gitu doang"
"dasar, orang jail, ga bisa diem!" jawab Sarah semkain ketus
"yaudah, biasa dong, lebay lo"
"heh, lo ya yang ganggu ganggu, bisa ga sieh diem"

Fajar terdiam. Sangat kaget dengan respon Sarah yang membentaknya. Sebelumnya Sarah anak yang baik, sopan, pintar, semua orang menghampirinya untuk meminta bantuannya mengerjakan soal. Tapi semuanya berubah saat ayahnya pergi, Sarah hanya diam, teman-temannya tidak ada yang berani menegurnya, ekspresi Sarah sangat berubah. Memang benar kata orang, kehilangan orang terkasih tidak semudah yang di bayangkan, dan kehilangan juga mampu membawa pergi serta seseorang untuk menemaninya. Sama seperti Sarah, sifat baiknya ikut pergi bersama kepergian sang ayah.





Satu dekade, Juli #2




Juli, kali ini aku memutuskan untuk pergi, kembali ketempatku yang mampu untuk bisa bersamamu, kau pasti tau kemana aku pergi. Di ibukota paling sibuk di negeri ini aku menaruh tujuan hidupku hanya untukmu, tempat yang ku pilih untuk berlari mengejarmu, tempatku membangun mimpi karenamu. Disana aku akan sibuk, Juli, sibuk dengan segala kerumitan untuk bertahan dari seleksi alam yang sangat mengerikan ini, tentu saja denganmu.

Juli, terkadang aku merasa tubuhku ini tidak mampu mencapai kapasitasnya lagi dan aku hanya akan mengeluh,merengek, menangis seperti anak kecil yang tidak diizinkan untuk makan es krim. Tapi dirimu selalu hadir dalam berbagai bentuk, seperti malaikat paling rupawan, mendekat kepadaku perlahan "bertahan, bertahanlah, kamu pasti bisa melewatinya" bisikmu.

Bisikmu selalu menjadi semangatku, tanpa kusadari, aku menggantungkan diri kepadamu. Saat diriku diambang kekacauan dari semua perjalananku yang amat sangat melelahkan di sana, yang aku cari pertama adalah dirimu. Saat dunia ini menolak kehadiranku dengan mengacuhkan sakitnya proses yang ku tempuh, nama yang pertama ku sebut adalah dirimu. Dan saat mimpiku mulai menyerah untuk menopangku menulis diksi yang tidak pernah mampu kubayangkan seperti apa, seseorang yang selalu kuhadirkan dalam benakku adalah dirimu.

Juli, bukankah aku terlalu berlebihan untuk sekedar meminjam bayanganmu untuk kugunakan melanjutkan hidupku yang memang sudah sia-sia ini? tentu saja itu sangat berlebihan, iyakan Juli?
Juli, aku manusia terkutuk yang berani-beraninya mendukan Tuhan dengan dirimu. Tapi, Juli, aku tidak memiliki kuasa apapun untuk mencegahmu hadir dalam setiap mimpi malamku, karena memang aku hanya bergantung padamu.

Juli, aku telah sampai, ketempat ini, tempat yang menyediakan hadirmu, sekaligus memberikan jarak terjauh aku dan dirimu. Juli, jarak bukan hanya sekedar jarak, tapi darinya aku juga sadar bahwa jarak selalu memberikan batas, batas yang akan sulit untuk dilalui, bahkan dengan do'a paling mujarab sekalipun. Aku semakin sadar, bahwa memang batas ini sangat pantas untukku, bahwa jarak yang memberikan batas, ternyata juga menyediakan cermin.

Sarah (Bag 1)




Sarah menghampiri Fajar yang sedang duduk di bangku panjang di taman tempat mereka biasa bermain sambil memegang air mineral dingin yang baru dibelinya. Setelah Sarah duduk, Fajar menatap wajah Sarah dengan sabit yang menggantung di bibirnya. Sebenarnya akan selalu ada seribu pertanyaan yang hadir ketika Fajar bersama Sarah, gadis berkulit manis yang telah bersamanya sejak SMP itu, kali ini Fajar menanyakan sesuatu yang pernah ditanyakannya pada Sarah beberapa kali sebekumnya, bahkan pertanyaan itu selalu membosankan bagi Sarah.

"Sarah, kenapa namamu Sarah? kenapa tidak Senja saja ya?" Fajar bertanya dengan siap menerima pukulan sarah yang selalu mampir ke pundaknya saat Fajar menanyakan itu. Tapi kali ini Sarah menjawab dengan berbeda.
"Fajar, aku sangat bosan mendengar pertanyan itu, kalau aku jawab kali ini, apakah kamu akan berhenti bertanya?"

Fajar yang telah menyiapkan diri untuk dipukul agak sedikit heran. Tumben sekali, gadis tomboy ini tidak memukulku? apakah dia memang sudah benar-benar bosan? apakah aku sudah sangat membosankan? ah, sepertinya dia kehabisan tenaga setelah berlarian kesini. Tapi, Sarah, aku kaget dengan responmu yang tidak biasa ini, aku harap kamu tidak menjawab apa-apa, aku lebih senang kamu memukulku, agar aku bisa terus bertanya hal yang sama padamu, gumamnya dalam hati.

"Fajar, dulu kau pernah bilang, aku ingin menamiku Senja agar serasi dengan namamu, iyakan?"
"Iya, itu akan menjadi nama yang sangat bagus untukmu, snagat serasikan nama kita"
"Tapi Fajar, fajar dan senja itu tidak akan pernah bertemu"

Mendengar jawaban Sarah itu membuat tubuh Fajar kelu, tidak mampu merespon, dia amat kaget akan Sarah yang menanggapi pertanyaan gurauan yang sering diucapkannya ini dengan sangat berbeda dari yang biasanya hanya memukul pundaknya. Bahkan Fajar tidak pernah memikirkan itu. Fajar hanya menyandingkan Senja dengan namanya, karena baginya itu amat serasi fajar dan senja yang senantiasa hadir dilangit menaungi bumi dengan sejuk. Tapi tidak bagi Sarah, pertanyaan yang terus berulang, membuatnya berpikir, berpikir lebih keras untuk menemukan jawaban selogis mungkin, dan Sarah menemukan jawaban yang tidak pernah disukainya.

"Fajar selalu datang pagi-pagi gara manusia bisa memulai hari untuk berbahagia, dalam hari itu manusia akan mengisi semua aktifitasnya dengan suka cita, aku suka namamu, Fajar. tapi senja? senja datang untuk mengakhiri hari, Fajar. Manusia mendatanginya dengan rasa lelah karena telah seharian bahagia mereka sudah dihabiskan menyisakkan dingin yang selalu menyelimuti malam, mengawali gelapnya gulita dengan kesendirian masing-masing, sunyi sekali. Aku tidak suka nama Senja kau buatkan untuku, Fajar."

Fajar yang mendengarkan jawaban Sarah tanpa berkedip itu, benar-benar melihat rasa tidak sukanya di mata Sarah. Sebenarnya bukan itu maksud Fajar, ada arti lain dalam senja yang ingin diberikannya pada Sarah. Tapi, Fajar tidak pernah suka berdabat dengan Sarah, gadis yang telah dikenalnya hampir 5 tahun itu, dia akan selalu mengalah, maka Fajar menjawabnya dengan wajah yang pura-pura mengiyakan ditambahi senyum "Iya juga ya? Senja tidak akan pernah bertemu fajar"

"Makanya, kamu jangan pernah bertanya itu lagi. Ah, aku membayangkan jika aku tidak pernah bertemu denganmu karena namaku Senja"

Fajar tertegun lagi "maksudnya bagaimana?"

"kalau namaku Senja, mungkin saja kita benar-benar bertemu dan duduk berdua di sini"
"tapikan, kita sekarang sedang duduk di sini"
"makanya aku bersyukur namaku Sarah, dan bisa bertemu denganmu"


Setelah (Puisi)



Mungkin kita lupa, hakikat hidup bersama
Merajut damai dan merengkuh sahaja
Saat tempat hancur merata oleh buta
Menyisakan abu, yang tua karena bahasa
Menangisi kenang, yang rapuh akibat kata

Si Jumawa, beranggap memberi hidup ribuan mereka adalah kuasa
Si mereka meronta, atas ketidakpedulian dan ego dari niat berbeda pemilik harta
Jelas, neraca penghidupan memang tidak pernah seimbang dirasa

Aih aih.
Dekil, kumuh, rusuh
Yang  pintar pura-pura tuli
Yang mampu pura-pura bisu
Tersirat, sedih, sakit, sekarat
Ada yang berucap: biarkan, mereka, bukan siapa-siapa

Tenang, tenang
Yang Maha Kuasa akan mengenang
Ssstt, ssstt, ini rahasia
Setalah berucap, semua dicatat malaikat

Maka, kalimat-kalimat akan memberikan fakta
Sesiapa berucap menepati damai akan dibayar dengan rengkuhan sahaja
Dan, bahasa-bahasa akan memberikan bukti
Sesiapa berucap melanggar kerukunan akan dibayar beribu kutukan

Hati-hati setelah... berucap.

Bagaimana Strategi Yang Baik Untuk Mengajarkan Fisika Kepada Siswa?

fisika itu susah”. Kalimat paling menyeramkan ketika masuk SMA adalah mendengar pengalaman orang-orang tentang susahnya belajar fisika di SMA, walaupun sebenarnya di SMP sudah dipelajari secara sederhana. Fisika memang menjadi momok yang melegenda tentang bagaimana susahnya fisika dipelajari, ada anggapan yang bisa fisika itu hanya orang-orang pintar dan juara kelas saja, murid-murid peringkat sepuluh kebawah pasti mengelus dada menutup kuping kalau dengar kata “fisika”. Ini terbukti dari hasil tes ujian nasional tahun 2019 di laman web puspendik yang menunjukkan rata-rata nilai fisika apalagi di jurusan IPA sendiri mendapat nilai di bawah 50, lebih kecil dari matematika dan kimia.

Itu juga yang saya rasakan saat mengawali belajar di SMA, di SMP dulu saya mendapat pelajaran biologi dan fisika dalam satu atap IPA, jadi tidak terlalu memahami perbedaan antara fisika dan biologi secara eksplisit ditambah dengan mata pelajaran baru yang tidak dipelajari di SMP yaitu Kimia. Bagi saya kelas pertama dari mata pelajaran tersebut begitu menyeramkan, sebelum guru masuk seperti ada hawa-hawa mistis yang menyelimuti, merinding. Tapi semua yang dibayangkan berbeda setelah guru fisika pertama saya masuk kelas.

Kesan pertama dari seorang guru akan sangat menentukan respon yang diberikan murid kepada pelajaran sampai materi selasai. Guru saya pertama kali membuka pintu memberikan senyuman terbaiknya, beliau sudah agak berumur tapi sangat semangat mengajar, maka hal pertama yang dilakukan bukan memberikan materi fisika yang snagat tiba-tiba tapi menanyakan “bagaimana rasanya sudah duduk di bangku SMA?” beliau mengatakannya dengan senyum. Nah, itu salah satu kesan terbaik pada fisika. Ini berlaku disetiap pertemuan fisika bersama beliau, beliau membangun suasana menyenangkan, kadang kalau fisika ditempatkan setelah jam istirahat beliau membuat lelucon atau tebak-tebakan yang membuat satu kelas tertawa, yaaa walaupun tidak menutup kemungkinan materi yang akan dipelajari langsung membuat raut muka berubah. Kesan pertama membangun motivasi.

Membangun motivasi dengan kelugasan komunikasi. Mungkin pengalaman bersama teman yang humble diberbagai kondisi akan membantu calon guru belajar berkomunikasi yang baik. Spontan berbicara untuk membangun motivasi sering dilakukan guru saya, kadang di tengah tengah pelajaran jika kami sudah terlihat lelah guru saya tiba-tiba berhenti menjelaskan dan berbicara tentang pengalamannya saat kuliah, ini guru sejarah saya yang baru lulus kuliah, tapi memungkonkan juga untuk guru fisika, kan?. Beliau banyak menceritakan kegiatannya saat di organisasi kampus, atau kadang tiba-tiba bertanya seperti ini “Andri semalam mimpi ga?” random, tapi membuat kami yang mengantuk tiba-tiba terkejut. Natural begitu saja tanpa terlihat kesan dipaksakan atau terlihat seolah-olah itu memang strateginya, tidak terlihat sama sekali, jka sudah selesai beliau mengajak ngobrol tiba-tiba juga beliau langsung kembali menjelaskan meteri, timing-nya pas.

Menguasi materi adalah hal yang paling mutlak. Penguasaan materi garis keras harus menjadi prinsip seorang guru, kenapa? Karena kalau tiba-tiba murid bertanya diluar apa yang dibayangkan oleh guru dan guru tidak bisa menjawab, maka itu akan menjadi boomerang.  Ini termasuk dengan urutan mengajar yang sistematis. Guru harus menguasi materi supaya dapat membangun kepercayan bahwa seorang guru ini dapat mengajarkan kami dengan baik. Tanpa kerpercayaan mengajar, guru bukanlah guru.

Mengaitkan materi fisika dengan kehidupan sehari-hari. Kesan pertama sangat penting dalam setiap pertemuan seperti yang sudah dijelaskan di atas, guru fisika saya ketika masuk kelas, beliau tidak langsung mengajar, atau bahkan mengabsen, ini menjadi daftar terakhir dalam startegi belajar yang beliau susun. Setalah meletakkan tasnya di meja beliau menyalakan laptop, sambil menunggu laptop menyala beliau bercerita, “tadi pagi saya naik motor, di belokkan motor saya tiba-tiba mau jatuh, oleng kayak selip gitu”. Dalam pikiran saya “licin kali jalannya?”, guru saya melanjutkannya dengan bertanya “kira-kira kenapa?” sontak teman-teman saya menjawab, licin kali pak, pas belok bapak sambil ngerem, kekencengan kali pak, becek kali pak, hilang keseimbangan pak, bapak lemes ya pak. Jawaban dari yang masuk akal sampai ga masuk akal beliau terima dengan senyuman, jauh dari kesan guru killer yang tidak peduli murid.

Saya pikir memang pagi itu beliau mau jatuh saat mengendari motor, tapi, tiba-tiba slide pertama yang ditampilkan di layar ada gambar motor yang hampir jatuh di belokkan. Soo, itu adalah stimulus yang bisa berliau berikan kepada kita yang membuat kita berpikirkenapa ya?” sampai menjawab nya dengan antusias tanpa ada tekanan apapun, hari itu kami belajar tentang gaya gesek. Sampai sekarang saya ingat. Kalau motor mau belok tapi oleng mungkin karena gaya geseknya atau gaya sentripetalnya tidak seimbang. Sangat berkesan.

Reward. Fisika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, agar murid merasakan aplikasi fisika dalam kehidupan maka guru perlu membawa kehidupan yang berkaitan dengan fisika kedalam kelas, sebagai tambahan agar lebih bersemangat adalah dengan reward, misalnya saat menjelaskan meteri grafitasi, guru bisa membawa apel dan mencontohkannya dengan menjatuhknnya di atas kepala seperti apa yang dialami newton. Jika ada murid yang memberikan pendapatnya dengan benar apel tersebut bisa dijadiknnya reward dengan memberikan kepada murid yang menjawab benar. Atau misalkan saat quiz guru bisa memberikan coklat sebagai hadiah kepada murid yang mendapat nilai tinggi ini bisa juga dijadikan sebagai motivasi. Atau memberikan nilai tambahan untuk murid yang berani maju mnejawab soal di depan kelas. Nah, kalo ini bisa menjadi stimulasi atau semacam latihan percaya diri sisiwa untuk berani maju dan mendapat reward.

Sering-sering mengadakan eksperimen. Hal yang paling ditunggu-tunggu adalah percobaan mencampur-campur larutan, eksperimen, bisanya ini yang paling berkesan. Eksperimen menurut saya sudah memiliki kesan tersendiri dalam benak murid, tinggal bagaimana guru mengemasnya dengan sangat menyenangkan, fun doing. Memang kebanyakan eksperimen hanya membuktikan konsep, tidak mengajak murid menemukan konsep, apalagi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi coba dikemas dengan berbeda seperti misalnya mengaitkannya dengan fenomena dialam. Guru dapat memberikan banyak pertanyaan langsung ketimbang mengisi modul paktikum “kok bisa ya kayak gini, menurut kalian kenapa?” “kalau misalnya bahannya diganti ini akan jadi seperti apa?” atau dengan membanding kan “coba lihat kelompok di depan, mereka hasilnya beda”. Secara ga langsung, ini menjadi stimulus mereka dalam mencari jawaban dengan berpikir kritis, banyak pertanyaan “kenapa?” bisa memberikan motivasi lebih untuk mereka mendapatkan konsep dari menganalisis. Kemudian ditambahkan dengan aplikasi di kehidupan sehari-hari, seperti misalnya jika sedang eksperimen bandul dapat dibuat pertanyaan “bagaimana dengan bumi?  Kok bisa berotasi dengan baik tanpa benang?” (walaupun kurang nyambung, ini bisa tetap jadi stimulus) atau praktikum lain “kalau di bumi tidak ada magnet apa yang terjadi? Apakah besi akan melayang?” pertanyaan-pertanyan tersebut akan menjadi stimulus murid untuk membayangkan dan berimajinasi tentang fenomena-fenomena yang terjadi disekitar mereka, dengan cara berpikir kritis mereka akan dapat mengaitkan berbagai macam konteks sehingga ditemukan sebuah kesimpulan yang eksplisit dan mendapatkan konsep yang tepat.

Jadi, pengalaman yang saya dapat menjadi seorang murid dari melihat banyaknya guru yang telah mengajarkan saya ilmu yang luar biasa adalah bagaimana cara mengajar yang menyenangkan yang berkesan dan tidak membuat murid tertekan bahkan sampai membenci satu mata pelajaran. Semua strategi yang dirancang dalam mengajar adalah baik tinggal bagaimana cara guru mengaplikasikannya di kelas. Jadi yang harus saya lakukan sebagai calon guru sekarang adalah terus menerus belajar menguasi materi dan sekaligus berlatih bagaimana menjadi guru yang menyenangkan dengan melihat latar belakang murid secara menyeluruh.

Selasa, 07 Juli 2020

Satu dekade, Juli #1



Aku tidak pernah menginginkan pertemuan ini terjadi, Juli. Apalagi berani mengharapkan dirimu. Kemarin aku membaca buku baru, dan ada namamu sebagai tokohnya di sana. Juli, aku iri sekali pada buku itu yang dengan bebas mengukir namamu. Hari ini aku telah selesai membacanya, 396 halaman buku itu yang beberapa kali menyebutkan namamu. Kau tahu apa yang paling menyedihkan selama aku membaca buku itu, Juli? tidak ada namaku di sana, tidak ada sama sekali.

Juli, apakah memang kita ini tidak benar-benar ditakdirkaan untuk bersama, bahkan dalam buku itu? bukankah semesta ini tidak adil, tidak adil karena tidak pernah mengijinkan kita untuk berproses untuk menjadi dua manusia paling bahagia di bumi?.

Juli, kamu mendengarnya, kan? suara tangisanku, suara tangisanku yang tidak mampu memanggil namamu. Tidak. Bohong. Tentu saja aku mampu. Tapi, Juli, aku terlalu takut, takut sekali memanggil namamu, aku takut saat aku memanggil namamu, aku tidak mampu berhenti mnegucapkannya, dan aku akan mengganggumu, aku takut sekali, Juli

Juli, sangat cukup bagiku hanya dengan mengetahui dirimu dari sini, dari tempat yang tidak akan pernah ku tunjukkan padamu. Sudah sangat cukup bagiku menerima kabarmu dari burung yang selalu mampir keberanda rumahku, aku sangat bersyukur mengenal burung itu, rasa terimakasihku tidak akan pernah cukup kepada burung itu yang telah berbaik hati membisikkan kabarmu saat ini.

Juli, pada buku ini, akupun berterimakasih, karenanya tulisan-tulisan itu membawaku padamu, mengenang. Bahwa dirimu pernah memberikan alasan untuk aku bahagia walaupun hanya sebatas bayangan. Bahwa dirimu telah menjadikan alasanku untuk bangun dan mengejar mimpiku, walaupun kamu tidak akan pernah mengetahuinya. Bahwa namamu yang terukir di dalam buku ini akan abadi, tanpa ada namaku.

Rabu, 24 Juni 2020

karena sepi adalah teman terbaik



self healing
self improvment


"main yuk"

ada banyak yang melintas di pikiran jika seseorang mangatakan itu. apakah aku punya waktu? apakah aku punya uang? bagaimana ongkosnya? dan yang terakhir adalah apakah aku bisa bermain bersama mereka?

introvert bagiku adalah belenggu yang sangat aku sukai, ia terasa sangat nyaman sekaligus membahagiakan, kadang bisa bertingkah menyedihkan dan bertingkah sebagai pelipur dalam satu waktu. aku mengenalnya saat pertama kali tes kepribadian kelas delapan SMP, sekitar tahun 2013. sudah lama sekali ternyata. tapi setelah tujuh tahun bersamanya aku tetap menikmati itu tanpa kurang sedikit apapun.

ada yang beriringan hadir bersama introvert, dia adalah sepi. ternyata bukan introvert yang ada sisiku selama ini, tapi sepi. sepi adalah teman terbaikku dia selalu menyediakan waktu, ikut berjalan saat aku bahagia dan menjadi teman terbaik saat sendiri. tapi apakah menurut kalian itu menyeramkan?

misalnya seperti ini. saat main atau berbincang disuatu ruangan bersama teman kalian merasa tiba-tiba di sekitar kalian  kosong, mereka, teman-teman, ada disana tapi dalam ruangan hampa. hampa yang dirasakan secara bersamaan oleh hati dan pikiran. mereka yang tertawa terasa sangat useless dan kalian menanggapinya dengan muka masam. syukur baiknya jika yang ditampilkan muka datar yang membuat orang-orang disekitar tidak terlalu curiga.

"put, main yuk?"
"enggak ah, mau nonton aja, hehe"

"besok lo mau ikut acara itu ga?"
"gue lagi ga enak badan, mau lasngsung pulang aja abis kuliah"

"eh ada bazaar tuh di plazaa"
"rame banget tau"

"gamau ikutan main ini, put?"
"gabisa mainnya, hahaha"

"putri, mana? ko ga pernah muncul?"
"iya maaf ya, gue lagi banyak kerjaan"

"ikut kepanitiaan itu yuk?"
"itu acara gede, gue takut gabisa"

"ayoo lah ikut studi tour, biar kita lengkap"
"duuh, gue udah ada agenda nih"

lama-lama berbohong adalah keahlianku, berakting jadi bakatku. inti dari semua itu adalah menghindar. padahal banyak sekali yang ingin menarikku keluar dari trio yang sangat di benci orang (introvert, sepi, dan aku). hanya saja trio itu sama-sama saling kuat tidak ada yang mau mengalah, apalagi jika seseroang pemimpin di antara ketiganya hadir, ego.

tapi bukankah kalau terlalu sering menampakkan itu akan sangat jelas dan mudah terbaca?
"putri kenapa? ko ga mau ikut main?"

"itu ko si putri sendirian aja?"

"dia lagi ada masalah ya?"

"lo sakit put, pucet banget?"

sampai akhirnya, mereka yang selalu berusaha membantu menarikku keluar, lelah.
"gatau, dia emang kayak gitu"
"udahlah biarin aja, gua juga capek nanyain mulu"

sampai suatu saat aku sadar kalau ada yang salah, tapi sampai saat ini aku tidak mau mengakui. iyabenar, aku menyadari apa yang aku lakukan adalah salah, terlihat sombong, terlalu sering futur, banyak alasan, jika ada diantara orang-orang berlagak sok sibuk, tapi kalau sendiri sangat dinikmati dengan tertawa.

karena aku ga ngerti ilmu-ilmu psikolog, aku pernah mencari tentang hal-hal itu di internet. mencari apapun yang aku rasakan saat rasanya diriku benar benar sudah kacau. dan menemukan aku yang sama  didalam internet. aku mamaku diriku sama seperti mereka yang memiliki gangguan mental illness, orang-orang yang berteman dengan sepi. tentu saja self diagnosis ini bukan hal yang baik. kamu, jika memiliki ciri-ciri yang sama dengan aku, lebih baik bercerita ke orang terdekat atau jika memiliki biaya lebih bisa ke psikolog profesional, ceritakan semuanya, kamu akan mendapat pengobatan yang lebih baik.

tapi apakah aku berubah? tentu tidak. aku semakin menikmatinya, semakin dimanja oleh trio itu. karena disana orang-orang sepertiku akan merasakan hal yang sama, sepi adalah teman terbaik yang juga hidup bersama introvert.

heol. berlebihan ya?
Sama. Keget. Ada yaa yang kayak gini.

sepi adalah teman terbaik ketika kita membutuhkannya. tidak menutup kemungkinan orang-orang ekstrovert juga sangat mencintai sepi. kadang seperti ini. ada orang yang didepan orang lain dia bersikap introvert tapi didepan orang terdekat dia ekstrovert, atau sebaliknya. mereka seperti memiliki kepribadian ganda.

semua memiliki waktu-waktu terbaik untuk mengibati diri, apakah sepi, atau butuh pergi bersama teman ke tempat yang ramai? masing-masing juga akan terobati pada proses terbaiknya. hargai. karena setiap kita memiliki privasi dan pembatas diri.

oh iya, sepi adalah obat paling baik jika diri sudah terlanjur runtuh, diri perlu waktu beristirahat untuk memulihkan perasaan, kayaknya ini deh yang disebut self healing. kalian team mana? apa kalian suka sepi? aku suka. sampe kadang kebablasan ga balik-balik dan rasanya itu adalah cara terbaik buat ngasih tau kalo diri ini baik-baik aja.

Sabtu, 13 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag V)



Bersikap baik-baik saja karena rasa salah adalah hal lumrah tapi paling menyiksa, kalian pasti tau kan rasanya? Dibawah tekanan untuk menyembunyikan perasaan yang terus berisik supaya tidak terdengar oleh siapapun.
Sejak awal, memang semesta tidak pernah mendukungku, semua yang ku rasakan itu salah, aku, merusak semuanya, semesta sedang menghukumku. Aku yang telah bersikap egois karena telah mengizinkan sebuah mata yang bertemu menjadi kebahagiaan, dihukum dengan perasaan bersalah yang tidak akan bisa dimaafkan oleh siapapun.

Aku tidak mau menjadi bodoh, Lena. Kita masih terlalu kecil untuk siap menerima hancur yang sia-sia. Aku... Aku... Akan mencoba mengumpulkan untaian kesalahan-kesalahanku kepadamau untuk memperbaikinya dan merangkainya menjadi ikatan paling erat antara aku dan kamu juga Reja, kita akan menjadi sahabat paling keren didunia. Karena aku yang sudah salah, maka aku akan berusaha lebih keras untuk mewujudkan itu.

Lena, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan tatapan itu menjadi benih paling menyedihkan yang pernah aku tanam. Akan lebih menyakitkan bagiku jika kamu tidak lagi menjadi sahabatku, kamu yang terbaik, Lena, dan akan selalu seperti itu.

***
Hari itu Lena sudah membaik, Lena lebih banyak tersenyum bahkan tertawa dengan teman-teman, sepertinya Lena sudah melupakan apa yang terjadi dengan orang yang disukainya itu.

"Gue masih suka sih, Put. Tapi yaa, yaaudah gitu gue ga peduli juga. Emang sih bener kata mamah, terlalu berharap sama seseorang itu ga baik hahahah"
"Bagus deh kalo lo udah bisa move on haha, nanti makan bakso yuk sama Reja, mamang bakso yang di sebrang sekolah aja, gue yanh traktir"
"Gue mikir, ko gue bisa sesuka itu ya sama ka Baim? Hmmm... Tapi emang dia manis banget, pinter, baik lagi. Siapa sih yang ga suka sama dia?? Pasti banyak juga ya yang patah hati hahahha"
"Iyee Len, kan elo salah satunya hahahaha"
"Yeeee. Tapi lo gapapa Put?
" Apanya yang gapapa? Lo mau ga makan bakso?
"Ha? Bakso apaan?"
" Ah tau ah Len, gue td ngomong ga lo dengerin "
"Eh iya iya, sama Reja kan? Okee traktir hahah"

***
Tiga minggu kedepan ujian nasional dilaksanakan serentak di Indonesia, kelas sembilan belajar semakin giat, kami kelas delapan dan kelas tujuh lebih sering belajar dirumah, karena sekolah dan waktu banyak digunakan untuk kelas sembilan percobaan ujian nasional. Aku, Lena dan Reja lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Reja sudah jarang main futsal, Lena juga sudah tidak les di tempat les, mungkin karrna dia sudah pintar, posisi juara satu umum paralel  kelas delapan sepertinya memang mutlak milik Lena. 

Hari-hari ku berjalan seperti biasa, pergi les seminggu empat kali, membosankan, walaupun kadang terpaksa, tapi hasilnya terlihat, disemester ganjil kemarin aku juara dua, tentu saja aku tidak akan bisa mengalahkan Lena di kelas. Aku sudah menjelaskan itu dengan ayah, dan ayah memaklumi.

***
Hari ini aku dan Lena berencana bermain kerumah Reja, Ibu sangat senang tentu saja, sampai sampai ibu membuatkan donat untuk Reja, mungkin ibu ingin memiliki anak laki-laki, karena kakak juga perempuan. Ah iya, aku tidak pernah membahas kakak yang sedang berkuliah karena aku tidak ingin mengganggu kakaa dengan semua cerita ku yang sangat kekankan, dia pasti hanya akan mentertawaiku.

"Len, lo tau ga. Masa ka Baim sama Ka Miranda katanya Putus" Reja berbicara sambil memakan donatnya dengan mulut penuh
"Makan dulu kek. Iya sih paling juga putus bentar lagi hahaha" Jawab Lena tidak peduli
"Kenapa emang?"

Perbincangan ini membangkitkan rasa penasaran ku, bukankah aku bodoh bertanya seperti itu? Ya ampun, Putri. Kamu udah janji untuk tidak merasakan apa-apa karena kamu harus memperbaiki semuanya, menjaga persahabatan ini.

"Tumben lo penasaran Put?" Tanya Reja yang kaget dengan pertanyaan ku, dan aku hanya bisa tersenyum
"Alesannya paling klasik Put, (aku mau gokus belajar, jadi kita putus aja ya?) gitu paling hahah" Jelas Lena sambil tertawa
"Hahaha iya bener bener"
"Emang bisa gitu ya?" Tanya lagi, menurut ku pertanyaan ini melewati batas, taoi entah kenapa kelur begitu saja dari mulutku.

"Elo hidup di jaman apa sih Put? Gitu aja gatau sama sekali?" Saut Reja yang sangat sebal dengan ku
"Tau lo Put, percuma masuk osis lo, hahaha. Oh iya dulu kan lo wawancara osis katanya mau punya banyak temen" Lena mengingat pendaftaran osis itu.
"Iya lo Put, hahaha. Tapi maennya tetep sama kita-kita juga hahah"
"Iya juga ya, aku baru sadar"

"Eh eh Ja, kok lo bisa masuk divisi literasi sih? Kaget kan gua pas liat nama lo di bawah na gue hahaha" Lena tertawa sangat kencang sambil memukul pundah Reja
"Eh iya ya. Sumpah Len gue juga gatau hahahha"

Akupun ikut tertawa mengingat masa itu, sore mendung itu, dirumah Reja, kami menghabiskan waktu hanya dengan mengobrol, mengenang masa masa kita bersama.

***
Setelah satu minggu kelas sembilan ujian, kami kembali belajar dengan normal. Saat jam istirahat didalam kelas tiba-tiba Reja menghampiri, dia membawa dua buah cokelat.

" Put nih buat Loh" Reja memberikan satu cokelat untukku
"Tumben banget lo ngasih makanan buat gue?"
"Buat gue mana Ja, masa cuma Putri doang?" Lena protes.
"Kagak ada lagi, itu kalo mau bagi dua aja"
"Pelit banget lo Ja, itu kan lo punya satu lagi?" Raut wajah lena terlihat bete.
"Inimah punya gue lah"
"Ini len bagi dua aja. Suka ga jelas emang Reja"
 
***
Hari perpisahan dengan kelas sembil tiba, aku yang masih menjadi pengurus osis mengurusi segala persiapan yang di butuhkan, dari hiasan panggung, banner, tenda, kursi kursi untuk orang tua yang datang, snack, sound system, semuanya. Lebih tepatnya aku hanya manyuruh, karena banya anggota osis lain hehehe.

Pagi itu berjalan sibuk sekali, bahkan aku tidak sempat mengobrol, bahkan denhan lena aku hanya menyuruhnya membantu, jangan tanta Reja, dia tiba-tiba jadi babu waktu itu haha.

Semua tamu undangan hampir tiba, beberapa sudah ada yang menyantap snacknya, pertunjukan yang disiapkan sudah mulai tampil, menjelang siang hari pukul 11.15 WIB rundown yang aku tulis menunjukkan pembacaan juara umum untuk kelas sembilan oleh keoala sekolah, dan dia berada di peringkat 6, dia berada di atas panggung.

Aku yang sejak pagi sibuk, entah mengapa tersentak saat nama dia di panggil, Ibrahim Zakariya. Aku semakin bodoh dengan berbalik badan dan melihatnya berdiri diatas panggung, bodoh sekali. Waktu itu dadaku terasa sangat sakit, sakit karena aku merasa mengingkari janjiku pada Lena juga Reja, sakit karena aku bersikap bodoh karena tida mampu menahan untuk tidak melihat dia, sakit karena masih ada sesuatu yang tersisa.

Lena, aku harus bagaimana? Reja tolong aku menghentikan pikiran dan perasaan aneh ini yang sebenarnya tidak bisa aku hilang seluruhnya. Aku mengkhianati sahabatku.

Aku bertekad, hari ini, di saat ini, aku tidak akan memikirkan dia. Aku akan menghapus ingatan-ingatan dari pertemuan dua mata yang menghancurkan semuanya itu. Aku akan menjadi sahabat yang baik untuk dua sahabatku, aku tidak akan menyakiti mereka hanya karena hatiku yang sanagt egois ini. Maka akan aku pastikan salam kenal waktu dipartama kali aku mengucapkan "hai" itu tidak akan membuat salam salam lainnya, dan hari ini akan menjadi perjumpaan terakhir yang tidak akan aku sesali sama sekali, aku memilih sahabatku.
Akan aku sampaikan untuk pertama dan terakhir kalinya sesuatu yang ingin kuucapkan dari hatiku untukmu, semoga kamu mendengar dengan senyum.
Salam kenal, sampai jumpa.

Kamis, 11 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag IV)


Rasa takut yang besar ini menghampiri disetiap aku masuk gerbang sekolah, ini hari terakhir disemester ganjil. Semesta berbaik hati kepadaku, ada waktu dua minggu sampai ajaran baru dimulai di awal tahun nanti. Artinya dalam dua minggu aku tidak akan bertemu dengan dia, aku harus memperbaiki sikapku, prilaku dan perasaan yang aneh ini jika tidak ditata akan semakin menjadi-jadi. Lena, dia sahabat, tidak mungkinkan aku menjadi jahat hanya karena aku, yang sampai saat ini saja aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku, kecuali jika Lena banyak bercerita, tentang dia.

Dua minggu berlalu begitu cepat tanpa basa-basi, ajaibnya kepalaku sama sekali tidak dilintasi oleh dia, aku baik-baik saja dan akan selalu begitu. Semester genap ini sama seperti biasanya, aku tidak menyiapkan rencana apapun, paling ayah akan lebih sering menghubungi ku untuk pergi les, seperti alarm, tidak pernah terlewat dan ibu akan geleng-geleng kepala di meja makan memperhatikan anaknya yang selalu cemberut kalau ayah sudah berbicara tentang les.

"Put, Lena ga main kerumah lagi? Perasaan selama liburan ini kamu ga pergi main?" Ibu bertanya karena baru menyadari itu, aku lebih memilih di kamar selama dua minggu, iya betul, untuk menghindari dari mendengar kabar dari dia, walaupun sebenarnya aku juga tidak tau apa yang ku lakukan, karena aku terlalu takut.
"Gatau tuh, Lena katanya lagi sibuk belajar masak sama mamanya"
"Rajin banget Lena, kamu ga mau ikutan belajar masak juga? Nanti Ibu bantuin loh"
"Gamau ah, Ibu. Aku motong bawang aja salah terus sama Ibu"
"Hahahahaaa, perempuan ini" Ayah dan ibu tertawa mendengarkan jawabanku.

Pagi itu singkat sekali, aku sudah berada di dalam kelas. Hari pertama masuk, beberapa teman-teman masih ada yang berlibur, sekolah belum seramai hari biasanya, pun kantin, baru dua gerai yang buka, termasuk dia, aku tidak melihat dia hari itu. Aku rasa, semesta masih berbaik hati kepadaku untuk melanjutkan memperbaiki diriku, terhadap hati yang begitu naif dan tidak mau terima segala proses-proses tentang jatuh hati.

***
Satu minggu berlalu dengan baik-baik saja,  dan di awal minggu kedua ini, sepertinya semua akan berjalan dengan indah tanoa ada satu kekecewaan apapun.

"Lena, lo udah bisa masak ayam?" Tanyaku saat melihat Lena masuk kelas, aku bertanya bahkan saat lena belum sempat meletakkan tasnya.
"Belum, susah ternyata masak. Eh sebenarnya susah ngumpulin niatnya. Hahaha"
"Yeee haha, Ibu nyuruh kamu main, ibu masakin dendeng ayam buat kamu"
"Ha dendeng ayam? Baru denger! Ayam fillet kali?!"
"Ga ngerti gue"
"Oke ntar pulang sekolah gue bareng ya kerumah lo!"

tetapi, menjelang jam istirahat, pikiran ku langsung kosong setelah mendengar apa yang Lena katakan
"Eh Put, ternyata bener!"
"Apanya yang bener?"
"Itu ka Biam, pacaran sama ka Miranda"

Aku yang selama tiga minggu ini tidak mendengarnya sama sekali, dan sangat berusaha menghindarinya. Tiba-tiba kabar yang membuat hatiku teriris itu hadir dari sahabatku. Yang aku takutkan selama ini, sesuatu yang selama ini selalu berperang didalam kepalaku, tubuhku yang selalu menolak sekaligus menerima, tentang beberapa detik tatapan disaat mata kita saling bertemu kala itu, terjawab.

"Gue tadi, liat mereka jalan kekantin bareng. Sumpah ya, gue kaget banget. Gue kira kabar burung, anak-anak di facebook ngomongin"
"Biarin aja Len, itukan pilihan mereka, lo gausah sedih sedih gitu deh, toh lo kan bukan siapa-siapa nya ka Baim. Hahaha"
"Ya iya sih, tapi ga gitu juga. Ah males gue ngomong sama lo, bete. Bukannya belain temennya. Sedih nih gue"
"Hahaha iya iya maaf, sini sini peluk. Utuk utuk"

*****
Beberapa hari ini, aku semakin hancur. Bukan karena melihat dia yang sudah berdua. Hatiku hancur saat benar-benar menyadari apa yang sudah terjadi, terkhusus pada hatiku. Ambruk, runtuh, berkeping, menjadi serbuk yang mudah berhamburan ditiup nafas kesedihan.
Aku, menyakiti Lena.

Disepanjang perjalanan pulang sekolah, dikepalaku terus berputar satu kalimat tanya 
"apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"
"Apa yang sebenarnya lo lakuin, Put?"

Aku mengerti perasaan yang salah ini setelah melihat Lena menangis karena dia. Hatiku ikut menangis. Bukankah aku juga sudah bersikap jahat kepada Lena? dengan membiarkan kebingungan yang sudah terjawab menjadi keputusan. Keputusan untuk memahami dan bersikap egois bahkan protektif dengan semua alur yang mengalir dalam hatiku. Aku jahat.

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag III)



Aku masih terhanyut dengan pertandingan itu, semakin dalam, memperhatikan. sorak sorai disana tidak terdengar sama sekali, semua terlihat gelap, buram, kecuali dia.

Selama di osis, aku pikir aku tidak pernah berbicara dengan dia, jika ada yang didiskusikan, ka Aisah, sekretaris satu yang lebih sering berbincang dengan dia. Aku? Hanya mngurusi surat surat sederhana, pun tidak ada hal yang perlu di bicarakan dengan dia. Aku hanya terlalu naif untuk memahami diriku sendiri. Termasuk kemarin.

"Besok kamu minta tanda tangan Baim, bilang ini nama calon ketua osisnya perlu persetujuan" Ka Aisah menjelaskan dengan baik, aku kemudian mengangguk mengiyakan.

Tapi, seharian itu aku tidak bertemu dengan dia. Sampai bel pulang sekolah, saat itu aku berada tepat di bawah anak tangga, menunggu Lena. Tapi aku benar-benar tidak menyangka. Dia, lewat di depan ku. Aku kaget dan kebingungan harus apa, keringat dingin tiba-tiba keluar di dahiku, badanku tak bisa bergerak, bibir ku kaku, mataku berusaha membuang arah dari dia. Dia tidak melirik ku sama sekali, terus berjalan melewatiku. Akhirnya tubuhku disadarkan Lena, yang datang.

"Put, Put, Putri!"
"Eh, Len, lama banget, gue nungguin dari tadi" Aku berusaha tersadar dan mengalihkan perhatianku
"Elo ngelamun, di bawah tangga, kesambet baru tau rasa. gue dari tadi disini" Lena memukul pundakku dengan kencang, melampiaskan kekesalannya padaku.
"Aw, sakit" 
"Ya Elo, emang kenapa sih? Bisa-bisanya ngelamun"

Aku baru ingat, seharusnya aku meminta tanda tangan dia. Saat aku menengok kebelakang dia sudah tidak terlihat. Bodoh sekali, kenapa hal seperti itu bisa terjadi?

___
Karena insiden keringat dingin itu, malamnya aku demam, sepertinya karena kelelahan mengurusi pemilihan ketua osis. Aku meminta tolong Lena untuk mengurusi tugas-tugas ku sebagai sekretaris, Lena teman yang sangat bisa diandalkan.

Di hari penghitungan suara, aku belum terlalu sehat. Tapi aku tetap memaksakan datang kesekolah karena tugasku sangat penting disana. Ibu khawatir, jadi aku berangkat bersama Reja. Di tempat parkir aku melihat dia, sekilas. Mungkin hanya bayangannya saja, dia datang lebih awal, dan bayangan itu langsung menghilang. Lena menjemput ku di tempat parkir.
"Lo beneran udah sehat? Masih pucet gini" Tanya Lena, yang raut wajahnya sama seperti ibu.
"Tau tuh, maksain banget" Saut Reja
"Kalo gue ga masuk, elo mau gantiin tugas gua jadi sekre, Ja?"
"Yee, ogah. Mending gua maen futsal. Hahah"
"Dasar genduuuuut"

Saat penghitungan suara, aku mencatat semuanya. Berdiri sambil menghitung. Sampai aku sudah benar-benar tidak kuat lagi menghitung. Lena yang disebelah ku menyuruh aku duduk. Disaat itu, mataku dan dia lagi-lagi bertemu, tapi, dengan rasa yang berbeda.
Mata yang bertemu dengan singkat itu menyisakan banyak tanya. Matanya seperti mata Ibu, menjelaskan kekhawatiran, raut mukanya terlihat agak sedih, tapi dia tersenyum.

"Eh, apaan sih Put. Yang bener aja, gara-gara sakit pikiran lo kemana-mana" Gumamku dalam hati. "Lagian mana mungkin sih, khawatir apaan. Kita tidak sekenal itu juga. Gausah mikir macem-macem deh, Put". Hatiku membantah dengan tegas. Lagi pula, hal-hal seperti itu biasakan, aku dengan Reja juga sering bertatap, biasa saja. Tapi kenapa tatapan dia terasa beebeda? Ah, toh dia juga pasti menatap yang lain dengan seperti itu dengan mata sayu-nya, toh dia juga tersenyum, itu bukan apa-apa.

###
Semester ganjil selalu ditutup dengan pensi dan class meeting. Kali ini aku tidak berniat menjadi panitia. Aku hanya ingin jajan makanan yang tahun lalu tidak sempat aku beli karena lupa bawa uang. Biar anak kelas tujuh saja yang menjadi panitianya.

Hari ketiga class meeting, aku mendapat kabar dari Lena, kalau dia ikut bertanding.
Aku sangat berusaha tidak perduli, memaksakan mataku untuk terlelap diatas meja, atau mengingat jawaban ujianku, yang rasanya banyak yang salah. Aku berusaha mengalihkan pikiranku, membuatnya sibuk.
Tapi, tubuhku sulit sekali diatur.

Pukul 9.15, ditunjukkan oleh jam ditanganku. Tiba-tiba Lena menarik tanganku.
"Put ayo, ka Baim tanding, kita nonton yuk!"
Dan anehnya, tubuhku mengikuti Lena tanpa merasa terpaksa sedikit pun. 

Saat itu aku sangat berusaha mengalihkan pandangan ku, ke arah perpus, kearah taman, ke arah kantin, kearah Reja yang duduk dipinggir lapangan, bahkan ke arah pohon mangga di ujung sudut sekolah. Aku sangat berusaha. Tapi di waktu itu, tubuhku berkata lain, mata kami lagi-lagi bertemu.

"Aaaa Ka Baim, semangaaat!!!" Teriak Lena disamping ku dan tentu juga teman-teman ku disebelah Lena yang berjejer panjang menonton pertandingan.

"Put, liat kan. Tadi ka Baim ngelirik ke arah kita hahahah"
Aku tidak menjawab Lena sama sekali. Ada sesuatu dalam pikiranku, mengusik. Yang aku khawatirkan mata yang bertemu ini, memiliki arti lain.


Rabu, 10 Juni 2020

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag II)



Aku sudah duduk dikelas delapan, sama seperti dia dulu, VIII.A.
Tidak ada event khusus di semester genap kemarin, aku juga lebih sibuk pergi ketempat les. Kemarin ayah menambahkan matapelajaran les ku, sastra. Kata ayah biar anak bungsunya ini dipupuk untuk lebih rajin membaca dari pada main handphone. Tapi yang membuatku tidak malas ikut les itu, karena ada Lena di kelas sastra  entah apa tujuannya, padahal dia lebih menyukai matematika. Dan Reja, sekarang dia ikut les bahasa Inggris karena dua nilai di raport nya pas-pasan, kena semprotlah dia.

Oh iya, Reja temanku sejak kecil. Kami bertetangga. Ibuku sering menitipkan aku kepada Reja, karena badannya besar "Ja, jagain Putri ya, kalau ada apa-apa telpon bibi aja" Nanti ibu membalas dengan memberikan sepiring donat kentang kesukaannya. Yaaa, walaupun sebenarnya aku yang lebih sering menelpon tante Susi, mamanya Reja, karena Reja kalau main pasti lupa waktu. Aku pulang lebih dulu.

Lena mengajakku mendaftar osis, karena Lena ingin lebih sering berinteraksi dengan dia.
Aku memberanikan diri mendaftar osis, ternyata syaratnya tidak susah dan aku langsung diterima, katanya aku pekerja keras, kakak yang mewawancarai ku satu divisi perkap waktu pensi dulu. Iya, aku  pekerja keras, karena sepertinya hanya aku yang bekerja dibagian perkap.
Alasanku berbeda dengan Lena, aku ingin memiliki banyak teman. Karena sepertinya selama satu tahun ini aku hanya bermain dengan Lena dan Reja saja.

"Put, lo diterima jadi sekretaris?" Tanya lena yang baru saja melihat daftar nama pengurus osis yang baru.
"Iya" Jawabku, malas, karena mengantuk.
"Reja satu divisi sama gue, bidang literasi"
"Lah, tu anak kenapa bisa masuk?"
"Nggak tau, bingung gue juga. Oh iya, besok lo dateng ya! Temenin gue, gue mau liat Ka Baim. Hahaha"
"Hahaha, niat lo ga lurus, Len"

Esoknya, acara pertemuan pertama pengurus osis itu berjalan biasa saja, aku lebih banyak diam karena malu. Tapi Lena sangat gembira karena bisa melihat dia, dan Reja, seperti biasa, dia heboh diamanpun berada.

Satu bulan aku menjadi pengurus osis, sepertinya sudah mahir dalam persuratan. Dan artinya aku siap menyiapkan proposal untuk pemilihan ketua osis baru. Osis disekolah ku memang agak aneh, berbeda dari sekolah lain. Kabar gembira itupum terdengar.

"Put, Len. Ka Baim, ikut lomba sains" Reja yang menghampiri meja kami berdua, kaget.
"Harusnya kan, elo Len, ka Baim Kan udah kelas sembilan" Tambahnya dengan serius dan sedikit kecewa.
"Hah masa?? Ya ampun, Ka Baim emang keren banget sih, udah ganteng, baik hati, pinter lagi" Lena membalas sambil memegang pipinya dan tersenyum sok manis.
"Lo gamau protes, Len"
"Apaan sih, Ja. Itukan dipilih guru  lagian gue juga belum siap ikut lombanya" Wajahnya tiba-tiba kesal.
"Hahaha, yaudah" Reja berjalan kebelakang meninggalkan meja kami.

"Put, keren banget ga sih ka Baim, yaampun gue ga salah ya suka sama dia"
"Tapi saingan lo banyak, Len. Hahaha"
"Yeeee, dasar. Bilang aja lo juga suka sama ka Baim" Dengan nada semakin kesal Lena langsung membuka buku pelajarannya

Aku yang selama ini bersikap tidak peduli, tiba-tiba dihujani dengan kalimat itu, "suka".  Bagaimana bisa Lena berbicara seperti itu?, kaget bukan main. Tapi dari kalimat itu aku tersadar.

"Ka Baim, Ka Baim, Ka Baim"
"Ka Andi, Ka Andi, semangat!!"
Sorakan teman-teman ketika jam istirahat terdengar sampai kelasku. Aku dan Lena berajalan keluar, kelas kami di lantai dua, ternyata di lapangan kelas sembilan sedang bertanding futsal. Reja juga ikut didalamnya.
Lena sontak meneriaki Ka Baim. Aku ikut terhanyut dengan pertandingan itu, memperhatikan dia, semakin dalam.

Oh iya, dua minggu lalu Lena mencoba memberikan cokelat kepada dia. Malunya bukan main, Lena, padahal memberikan cokelatnya saja belum.
"Put, do'ain gue, walaupun gue banyak saingan, seenggaknya gue pernah ngasih coklat buat ka Baim, hahah" Lena merasa gemetar tapi mencoba menenangkan diri. Ini kali pertamanya Lena berhadapan langsung dengan dia, walaupun sebenarnya di osis Lena juga sering berbicara dengan dia, beda denganku yang lebih membatasi diri berbicara dengan dia, tapi yang ini beda urusan.
"Iya iya, gue do'a in, tuh orang udah keluar kelas, cepetan, ntar malah banyak yang liat"
"Oh iya, do'ain, Put"
"Iyaaa"

Lena berjalan ke arah dia, tepat didepan kelas sembilan. Aku memperhatikannya dari jauh. Menurutku Lena cukup berani, dia tidak memintaku menemaninya ketika memberikan cokelat itu.

Dari kejauhan, aku lihat Lena berhasil memberikan cokelatnya, dia menerima cokelat Lena dengan senyum. Dari tempat aku memperhatikan, aku bisa membaca gerak bibirnya "terimakasih ya" Itu yang dia katakan kepada Lena. Dia, memang benar-benar orang yang baik.

Aku yang dari tadi memperhatikan juga ikut tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku rasakan, ini ganjil sekali, wajahku tersenyum, tapi aku, sedikit susah bernafas, sesak.

Lena langsung berlari kembali, ketempatku. "Gimana Len?"
"Sumpah, gemeteran banget gue. Hahaha"
"Lo keren hahah"
"Susah payah gue memberanikan diri, gue kira Ka Baim ga bakal terima hahah"
"Tadi pas lo lari kesini, dia ngeliatin lo juga"
"Ha? Yang bener? Gila, cokelat nya manjur banget, ke notice. Hahah"
"Hahaha, bisa aja lo"

Iya, dia memperhatikan Lena berlari, ke arahku, sampai dengan  tidak sengaja, mata kami bertemu.

Salam kenal, sampai jumpa. (Bag I)




"Put, Putri. kenalin ini ka Baim. Panggilan Baim, nama aslinya sih Ibrahim Zakaria, kelas VIII.A ketua osis kita." Reja mengenalkan aku dengan ketua osis baru yang sekaligus merangkap menjadi ketua pensi. Sebenarnya aku sudah tau, sebulan lalu aku juga memilihnya dalam pemilu ketua osis. Tapi, anggap saja aku memang baru tahu.

Iya, ini akhir semester ganjil, kami baru selesai melaksanakan ujian. Menunggu waktu libur akhir tahun, seminggu kedepan sekolah kami akan mengadakan pensi dan class meeting, ini acara rutin disekolahku untuk melepas penat. Tepatnya sih supaya kami tidak terlalu bosan atau bahkan luntang-lantung menunggu hasil ujian.
Aku mendaftarkan diri menjadi panitia pensi. Karena hanya dua yang dilombakan menyanyi dan membaca puisi. Kalau pensi kenaikan kelas yang dilombakan lebih banyak.

"Oh, Halo ka, aku Putri dari kelas VII.C, nanti kalo ada sesuatu yang bisa dikerjain kasih tau aja ya ka, soalnya bingung juga harus apa" Jawabku dengan nada kelelahan karena terlalu capek memindahkan bangku untuk latihan pensi sekolah, seharusnya ini pekerjaan lelaki, aku bergumam dengan kesal.

"Iya Put, semangat ya" Jawab kakak yang warna kulitnya hitam manis itu. 
"Put, gue tinggal ya, lo semangat ya haha"
"Yeee. Reja. Bukannya bantuin" Aku dengan nada kecewa membalas Reja yang sepertinya menyemangati tapi juga mengejek. Reja memang selalu menyebalkan.
"Kagak aah. Mau jajan gue. Hahah"
"Ih dasar gendut"

Hari ini pensi terakhir, aku pagi-pagi buta sudah sampai sekolah untuk menyiapkan panggung dan hadiah-hadiah. Ini memang tugas ku, entahlah kenapa waktu itu aku pilih perkap, padahal aku tahu pekerjaannya lebih berat. Sampai disana ternyata baru ada dua kaka osis yang sampai. Aku minta izin untuk menyantap bekalku, karena ga sempet sarapan dirumah, ibu siapkan dua bekal untukku. Padahal harusnya disaat seperti ini lebih seru kalau jajan. Karena lebih banyak yang berjualan di kantin, tapi aku tidak mau ambil pusing, toh, ibu sudah menyiapkan bekal dengan penuh cinta didalamnya hanya untukku.

Aku makan di pinggir mushola, tempat ini tidak terlalu terlihat dan akan nyaman jika makan disini. Baru dua tiga suap aku menyantap sarapan ku. Tiba-tiba ada suara dari jauh.
"Eh, Im. Ini gimana gue bingung?"
"Oh ini, ntar gua yang pasang. Bentar dulu ya"
Eh, itu suara Ka Baim, aku langsung menghentikan makanku. Tapi ada yang aneh saat itu.
"Ko gue jadi kaget ya?" Gumamku dalam hati yang langsung menyadari prilakuku.
"Sarapan dulu deh, toh belum banyak orang".

Setelah makan selesai, aku langsung merapikan properti panggung. Reja datang agak siang. Anak itu memang semaunya.
Aku tidak peduli.
Acara berjalan dengan lancar sampai pukul 14.00, pengumuman pemenang lomba di bacain langsung sama dia, kaka itu, ka Baim.

"Eh Put, ka Baim manis banget ya" Lena menghacurkan lamunanku, dia teman sebangkuku. Sejak pemilihan ketua osis itu Lena sangat ngefens sama dia. Ntahlah aku tidak menggubrisnya, sepertinya saat itu aku sangat sibuk dengan les bahasa Inggris ku, karena UTS sebelumnya nilaiku hancur dan Ayah benar-benar marah, alhasil dalam seminggu aku perlu empat kali pergi les dan lebih banyak berlatih soal. Ayah memang sangat keras kalau soal pendidikan.

"Adem banget ya liatnya"
"Apaan sih Len, gue kecapekan nih, beliin gue es dong. Gue baru sadar ga bawa uang jajan padahal ibu udh siapin di atas meja. Uang gue cuma pas buat ongkos angkot doang nih hahaha"
"Bisa-bisanya lo lupa, pas acara kayak gini. Lagi banyak jajanan lo ga bawa duit"
"Ya namanya juga lupa"
"Yaudah nih es gue buat lo aja, belum gue minum"
"Makasih cayang ku, eheheh"
"Idih geli gue. Eh, lo udah makan kan tapi?"
"Udah ko, Ibu bawain bekel dua"

Lena disampingku terus meperhatikannya, tanpa sadar aku juga ikut melihatnya. Terbawa, mengamati, membayangkan.

Besoknya, pembagian raport, aku peringkat tiga di kelas, hasil usaha belajar selama dua bulan, karena kalau tidak ayah akan marah. Lena peringkat satu, dia anak yang pintar rambut panjang membuat dia terlihat dewasa. Ah, sejak awal masuk aku memang mengaguminya, dan sejak itu aku memilih untuk menjadi temannya.

"Put, lo tau ga? Masa Ka Baim ternyata dulu di kelas kita, kelas VII.C. gue baru denger dari anak kelas sebelah. Terus katanya dia peringkat tiga dulu, sama kayak lo, Put"
"Apaan deh Len, ya berati lo juga sama dong sama ka Andi. Kan peringkat satu juga"
"Yee, apaan ka Andi, orang lagi ngomongin ka Baim"
"Hahaha"

Seperti itu, aku selalu mendapat kabar dia dari percakapanku dengan Lena, atau lebih sering dari teman-teman di kelas sebelah. Mereka sangat menyukai Ka Baim. Bahkan di tukang bakso sebrang sekolah topik hangat yang selalu diperbincangkan adalah dia.